Monday, February 9, 2015

Resensi – PEOPLE LIKE US “Banyak Cara untuk Mewujudkan Cinta”


Penulis : Yosephine Monica
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Young Adult
Terbit : Juni 2014
Tebal : 330 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 35 – 2
Harga : Rp. 54.000

“Dari 500 murid di high school ini – dan 267 siswa – kenapa harus dia yang dipilih Amelia Collins sebagai orang yang disukai?” – hlm. 90

Benjamin Miller – Ben, dia tahu selama ini ada seorang gadis bernama Amelia Collins – Amy, yang diam-diam menyukainya. Bahkan, dia sudah seperti penguntit di hidup Ben. Dan, Ben membenci kenyataan itu, termasuk membenci keberadaan Amy.
“Dia menyukaimu meskipun dia tidak pernah bicara padamu. Kupikir cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang paling sedih.” – Margareth – hlm. 157

Amelia Collins, cewek yang sebenarnya tidak suka disorot publik. Dia lebih nyaman menjadi sosok kasat mata. Tapi, karena tulisannya, kisah-kisah yang dia tulis di blog dan tak pernah punya ending – cukup disukai, membuat Amy mulai dikenal di sekolahnya. Dan, inilah alasan pertama kenapa Ben akhirnya dengan senang hati mau membagi waktunya untuk Amy. Karena Ben merasa Amy bisa menjadi guru menulisnya.
“Inilah kenapa Amy tidak pernah suka menjadi sorotan publik. Orang-orang hanya akan mengingat kesalahanmu dan menghitungnya dengan jari, sementara kebaikan yang kau perbuat akan dilupakan karena tak cukup banyak jari yang tersisa untuk menghitungnya.” – hlm. 231

Ben sejak dulu menyukai menulis. Tapi, mimpinya terhenti dan berpindah ke sepak bola. Karena, orang-orang selalu menertawainya jika mendengar Ben punya impian menjadi seorang penulis.  Namun, Amy berbeda, dia tidak menertawai Ben, saat Ben bilang ingin menjadi penulis.
Amy termasuk gadis yang beruntung. Meskipun dia mengidap penyakit kanker, tapi dia punya keluarga dan sahabat yang menyayanginya. Dia juga beruntung karena punya kesempatan untuk dekat dengan orang yang sudah membuatnya jatuh cinta.
Meskipun, pada awalnya Ben harus dipaksa Lana untuk sekedar menjenguk Amy. Sekarang, dia dengan senang hati mengunjungi gadis itu. Meskipun, dia tetap merasa tidak nyaman berada di dekatnya.
“…tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengubah hidup orang lain menjadi sedikit lebih baik. Tapi, sekarang, ini ada di tangan kita. Jadi, kenapa kita tidak mencobanya dulu?” – Lana – hlm. 41

Namun, karena Ben merasa Amy bisa memahaminya, bahkan Ben bisa menceritakan apapun – yang tidak dia ceritakan pada orang lain – kepada Amy, membuat Ben merasa begitu menikmati pertemuan-pertemuan mereka.
“Mungkin, mungkin saja, Amelia adalah versi lain dari diriku.” – Ben – hlm. 125

Ben punya sebuah masalah. Tidak, Ben punya banyak masalah. Dia merasa tidak mempunyai tempat di dalam keluarganya. Dia merasa tak ada yang bisa memahaminya. Dia juga merasa tak bisa mempercayai siapapun.
“Kau pikir kau punya banyak masalah. Dan aku yakin, 75%-nya hanya ada di kepalamu – sebenarnya masalah itu tak pernah ada. Kadang, kaulah yang membuat hidupmu menderita, Bung” – Timothy – hlm. 168

Tanpa sadar, kehadiran Amy merubah semuanya. Dan, perlahan posisi gadis yang dulu tak pernah diharapkan keberadaannya oleh Ben itu, sekarang menjadi sangat penting. Tapi, tidak semudah itu untuk membuat Ben jatuh cinta pada Amy dan merubah status mereka.
Hubungan mereka bukan hubungan romansa. Hubungan mereka adalah hubungan pertemanan.
Benarkah?
Mungkin waktu yang akan membantu kita untuk menemukan jawabannya.
“Ketika kau mencintai seseorang dan kau tahu dia akan pergi, kau pasti menghabiskan sisa waktu kalian bersama-sama. Tapi, tetap saja, setelah dia pergi, kau pasti berpikir semuanya tak pernah cukup, Lana.” – Ben – hlm. 295
People Like Us, novel pemenang 100 Days of Romance yang diadakan oleh Penerbit Haru.
Jujur, saat mengetahui novel ini ada unsur pemerannya sakit parah dan punya kemungkinan 75% ending-nya ‘mati’, aku nggak terlalu tertarik sama novel ini. Tapi, karena rating Goodread cukup bagus, aku mencoba membacanya.
“…bahwa pada kenyataannya, hidup itulah yang paling sulit, matilah yang gampang – segampang kita tidur.” – Margareth – hlm. 164

Saat bertemu prolog dan bab pertamanya, aku cukup suka dan membuat aku semakin ingin menuju bab selanjutnya. Lalu, membaca bagian awal di halaman pertama setiap bab baru, yang seperti narasi seorang moderator – aku semakin suka dengan cara bercerita penulisnya.
Tapi, aku mendapati satu atau dua kalimat panjang yang terkadang membuat aku harus berhenti membaca, lalu membacanya lagi sampai – em, mungkin – tiga kali. Dan berakhir dengan, aku cukup bingung dengan maksud kalimat itu. Kemudian, aku memutuskan untuk membaca terus tanpa peduli lagi dengan kalimat tersebut.
Yang tadi itu pendapat aku waktu membacanya kurang lebih seperempat bagian cerita. Karena, setelah itu, aku merasa sangat menikmat novel ini. Bahkan, aku dibuat jatuh cinta pada kisah Ben dan Amy yang sebenarnya sangat biasa, tapi malah begitu bermakna.
“Hidup takkan sesulit itu jika kau melakukannya dengan sepenuh hati. Dan mati itu tidak akan gampang jika kau tahu kau punya sesuatu yang layak untuk dipertahankan dalam hidup.” – Ben – hlm. 164

Setelah seperempat bagian itu, tak ada lagi kalimat yang bikin bingung, bagaimana cara penulis mendekatkan Amy dan Ben terasa sangat normal, alasan kenapa Ben akhirnya mau berinteraksi lebih intens juga tampak bisa diterima secara logika. Lalu, aku juga suka dengan pilihan diksi yang digunakan penulis, dan adegan-adegan yang terjadi antara Ben dan Amy.
Aku suka karakter Ben. Meskipun bukan karakter cowok yang baik dan menyenangkan, tapi Ben bisa tampil cukup menarik perhatian – perhatianku maksudnya. Dia yang menyebalkan, yang tampak lebih seperti cowok egois dan mau menang sendiri, juga bermulut pedas – malah membuat novel ini punya irama yang nggak monoton. Dia bagian lain yang mengimbangi karakter Amy yang lebih terkesan datar dan tenang.
“Jika kamu bisa berhenti membenci seseorang, kau juga bisa berhenti menyukai seseorang.” – Ben – hlm. 220

Di novel ini, Amy dikisahkan suka menguntit Ben. Tapi, adegan seperti penguntit hampir tak banyak dieksplor. Aku hanya merasa Amy tampak berlebihan memperhatikan Ben, dan menurutku yang dilakukan Amy sangat wajar untuk porsi orang yang sedang jatuh cinta, apalagi pada sikon cinta diam-diam.
Amy juga tidak punya obsesi yang menggila. Dia sadar, Ben akan selalu jauh dari jangkauannya. Dan, Amy selalu bisa menerima itu. So, aku berpendapat, Amy tak pantas dijuluki penguntit. Dia tak semenakutkan itu.
“Mungkin kau takkan pernah jadi yang terbaik. Tapi setidaknya kau mau berusaha untuk menjadi lebih baik. “ – Amy – hlm. 221

Novel ini mengangkat tentang seseorang yang mengidap kanker. Bagusnya, penulis tidak menjadikan kanker sebagai sebuah masalah besar yang mendominasi konflik ceritanya. Konflik tetap lebih fokus pada cinta diam-diam Amy pada Ben. Kemudian, proses bagaimana akhirnya mereka bisa semakin dekat.
Yah, meskipun kanker yang diidap Amy cukup punya peran juga dalam mengajarkan pembaca tentang bagaimana kita harus menghadapi sebuah kematian yang sudah di depan mata. Juga, bagaimana kita menyikapi rasa kehilangan.
“Begitulah manusia. Mereka punya terlalu banyak hal yang ingin dikatakan pada seseorang yang telah melangkah pergi.” – hlm. 300

Bagusnya lagi, meskipun Amy tahu umurnya tak akan panjang, penulis tidak membentuk Amy menjadi cewek yang putus asa, lalu tampak terpuruk pada keadaannya. Dia tetap menjadi Amy seperti dulu. Walaupun, tetap ada yang berubah pada dirinya.
Intinya, aku sudah berburuk sangka pada novel ini. Beberapa analisaku di awal membaca novel People Like Us tampak salah. Aku pikir, Ben akan pura-pura cinta pada Amy karena Amy sakit. Atau, dia akhirnya jatuh cinta pada Amy, lalu mereka menghabiskan waktu-waktu terakhir Amy dengan segala hal yang romantis, dan hal-hal klise lain.
Untungnya, semua itu salah. Aku sangat mensyukuri penulis punya cara tersendiri untuk membuat kisah Ben dan Amy tampak sangat berbeda. Minimnya hal-hal romantis di novel ini dan tak adanya kisah berurai air mata yang berlebihan seperti pada novel yang mengangkat kisah tokoh yang sakit parah pada umumnya – lagi-lagi sangat aku syukuri. Ehm, tapi…bagian akhirnya cukup menguras emosi, sih.
Ending-nya, aku nggak bisa berkomentar banyak. Dari 1 – 10, aku menilai ending-nya dengan nilai 9,5. Keren! Yap, erg…nggak menyangka banget yang bercerita adalah dia.
Kesimpulannya, aku menyukai…sangat menyukai novel ini. Dan aku rasa, juri-juri dalam lomba 100 Days of Romance tak salah menobatkannya sebagai pemenang. Ah, satu lagi. Novel ini juga memberiku banyak ilmu menulis novel.
Ben adalah murid Amy di bidang menulis – bisa dikatakan begitu. Dan, saat Amy mengomentari tulisan Ben, saat itu aku ikut belajar bersama mereka. Bonus yang mengasyikan.
Rating novel ini 4,5 dari 5 bintang.

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos