Wednesday, November 26, 2014

Resensi - Unforgettable “Biarkan segelas Wine bercerita”




Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Drama, Romance
Terbit : 2012
Tebal : viii + 176 hlm
ISBN : 979 – 780 – 541 – 7
Harga : Rp.
“Yang mana yang lebih baik – pernah memiliki, lalu kehilangan atau tidak pernah memiliki sama sekali?” – hlm. 159

Ini tentang pertemuan seorang perempuan dan seorang pria di sebuah kedai wine. Kemudian, mereka mulai mengisahkan hidup masing-masing. Uniknya, mereka tidak saling menyebutkan nama. Mereka tidak saling menuntut, tidak saling meminta, dan tidak memaksa. Hubungan mereka berjalan dengan apa adanya.
Si perempuan, dia yang selalu sibuk menulis, tampak nyaman bercerita tentang masa lalunya, ayahnya, dan juga tentang kecintaannya pada wine.
Si pria yang selalu datang dengan tampang lelah, kusut dan murung begitu terbuka tentang hubungannya dengan para wanita, tentang luka lamanya pada masa lalu, juga kenapa dia menyukai wine.
“Kata orang, menjadi dewasa berarti harus membuat pilihan. Baginya, menjadi dewasa berarti tidak memiliki pilihan." – hlm. 36

Kemudian, keduanya mulai mengetahui satu hal, sebenarnya mereka tanpa sadar sedang mencari. Namun, saat apa yang dicari sudah berhasil ditemukan, waktu membuat semuanya jadi serba salah. Dan, mereka harus memilih.
“Hatimu tahu apakah pilihan itu benar atau salah. Hati selalu tahu.” – hlm. 75
 
Unforgettable. Ini novel Winna Efendi yang sejak pertama membaca aku langsung bisa menikmatinya. Biasanya, aku pasti kurang sreg sama bagian pembukanya, dan jatuh cinta di bagian intrik klimaksnya. Tapi, kali ini beda.
"Keberuntungan dan kebetulan adalah cara pandang manusia lemah yang mengharap keajaiban." – hlm. 27

Penulis memulai dengan penggambaran setting yang sendu di bab pertama. Dan prolog yang puitis untuk pengenalan dua tokohnya.
Novel ini menggunakan POV ketiga, namun serasa POV pertama. Apa ini yang disebut POV kedua? Aku tidak paham tentang ini. Yang jelas, saat cerita diambil dari sudut pandang si perempuan, huruf tidak dicetak miring/italic. Sedangkan untuk cerita yang diambil dari sudut pandang si pria, huruf di cetak miring.
Di novel ini tidak menggunakan kalimat langsung dalam percakapannya. Semua menggunakan kalimat tidak langsung. Hanya saja, bunyi percakapan itu menggunakan format italic dan tidak, berkebalikan dengan format yang digunakan pada sudut pandang penceritanya.
Karena novel ini begitu lekat dengan wine, aku jadi tahu banyak tentang minuman beralkohol yang satu ini. Ternyata, berbeda jenis, berbeda juga cara penyimpanannya. Benar-benar rumit. Salut sama riset penulis tentang wine.
“Jangan langsung diminum, nikmati saja aromanya. Kita bisa tahu banyak hal mengenai sebotol anggur hanya dengan mencium baunya saja.” – hlm. 8

Yang jadi istimewa, sejak pertama, nama kedua tokoh disamarkan. Sehingga, hanya ada si perempuan dan si pria. Karakter masing-masing pun tampak jelas meskipun terkesan didominasi monolog.
Awalnya, aku agak ragu dengan novel ini. Aku takut akan bosan. Ternyata, aku menikmatinya. Interaksi antara kedua tokohnya sangat unik. Pembicaraan mereka yang ringan sebenarnya menyiratkan banyak makna.
Kisah masa lalu mereka sedikit demi sedikit mulai menjawab pertanyaanku tentang kenapa si perempuan memilih untuk jadi bayangan di sudut Muse (nama kedai wine tersebut) ? Lalu, kenapa si pria selalu tampak muram, lelah dan tidak bersemangat?
Ternyata, di novel yang tidak tebal ini menyimpan banyak misteri, dengan rasa roman yang berbeda. Dan, aku menyukainya.
Untuk ending, aku merasa belum puas meski semua sudah tampak jelas. Tapi aku merasa semua belum usai. Masih ada misteri. Ya, aku merasa hubungan mereka masih penuh dengan misteri.
Rating untuk novel ini 3,5 dari 5 bintang.

Sunday, November 23, 2014

Resensi - BONUS TRACK “Berteman halusinasi”



Penulis : Koshigaya Osamu
Penerjemah : Andry Setiawan
Penerbit : Haru
Genre : Horror, Drama
Terbit : Oktober 2014
Tebal : 380 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 36 – 9
Harga : Rp. 65.000

Kehidupan tak pernah bisa ditebak bagaimana jalan ceritanya. Kita tanpa sadar hanya bisa mengikuti alirannya. Dan, saking banyaknya hal yang tak terduga, sebelum batas akhirpun, kita sudah sering kali dikejutkan.
Kusano Tetsuya, seorang manager di sebuah restoran hamburger besar di kotanya–tiba-tiba harus menjadi saksi mata sebuah kecelakaan tabrak lari yang korbannya meninggal dunia.
Saat itu hujan benar-benar deras. Kusano yang memang kebetulan mengalami masalah penglihatan sehingga harus menggunakan kacamata-pun tampak semakin hati-hati menyetir. Tiba-tiba melajulah sebuah mobil sport warna hitam yang musiknya diputar cukup keras hingga Kusano yang berada di mobil lainpun bisa mendengarnya.
Mobil itu menyalipnya dengan kecepatan cukup kencang, membuat Kusano mengomel tak karuan. Namun, di sebuah jalan, mobil sport itu tampak berhenti. Kusano merasa ada yang tak beres. Tapi, sebelum mobil Kusano semakin dekat dengannya, dia sudah berlalu dengan cukup kencang. Dan setelah itulah, Kusano menangkap sesosok tubuh tergeletak di jalan.
Yokoi Ryota, dia adalah korban tabrak lari yang disaksikan Kusano. Ryota merasa kesal sekaligus tidak percaya sudah menjadi korban tabrak lari.
“…Setiap kali berita mengenai kasus tabrak lari di muat di televisi dan koran, orang-orang termasuk diriku, selalu menunjukkan rasa simpati sembari mengatakan, “Tidak bisa dibiarkan!” Namun, semua itu hanya basa-basi. Toh, kejadiannya terjadi pada orang lain….Tapi, aku tidak mengira tabrak lari bisa jadi hal yang menjengkelkan seperti ini.” – Ryota – hlm. 50

Namun, dari pada marah, Ryota lebih merasa bingung harus bagaimana dengan kondisinya saat ini. Dia menjadi hantu. Tak ada yang bisa melihatnya, ataupun mendengarnya. Dia seperti seseorang yang tidak diakui keberadaannya. Dia sudah menjadi masa lalu bagi orang-orang yang mengenalnya.
“Aku ingin berkeliling menemui mereka dan menyampaikan, “Aku sebenarnya tidak apa-apa, kok.” Namun, aku tidak bisa. Meskipun seorang teman, atau bahkan musuh sekalipun, sudah tidak ada orang yang menyadari kehadiranku. Aku sudah menjadi orang masa lalu mereka” – Ryota – hlm. 179

Jadi, saat dia tahu Kusano bisa melihatnya, Ryota merasa lega. Setidaknya ada satu orang yang bisa diajaknya bicara.
Sayangnya, kehadiran Ryota di kamar Kusano malah dianggap halusinasi karena Kusano sedang demam tinggi.
“Karena hanya halusinasi, kau akan menghilang kalau demamku turun. Karena itu aku tidak takut… walau aku takut terhadap kenyataan bahwa aku melihat halusinasi.” – Kusano – hlm. 130
Bonus Track, novel ini memang bergenre horror. Tapi, sama sekali tidak menakutkan. Aku membacanya tengah malam saja tidak merasa takut. Ya, ini karena karakter Ryota yang riang, cukup cerewet dan menyenangkan. Dia benar-benar hantu yang berbeda.
Menurutku, novel ini lebih cocok dengan novel drama dari pada horror. Karena lebih banyak bercerita tentang kehidupan Kusano dan Ryota. Bukan sebuah novel yang mengejutkan pembaca dengan penampakan-penampakan menyeramkan. Namun, lebih menyentuh hati pembaca lewat ceritanya.
“Kadang bonus track itu sendiri malah lebih baik dibanding keseluruhan album.” – Ryota – hlm. 332

Sebenarnya, tidak hanya Kusano yang bisa melihat Ryota. Ada lagi dua orang pelayan restoran hamburger yang bisa melihatnya. Dan salah satunya ikut aktif dalam memecahkan kasus Ryota. Dia bernama Minami.
Sebenarnya, Minami tidak mau membantu Ryota. Minami yang mempunya kemampuan melihat hantu sudah muak dengan mereka. Yang jelas, Minami mempunyai alasan kenapa dia bersikap begitu.
“Mungkin kau bukan orang yang jahat. Tapi, hantu tetaplah hantu. Mungkin aku dingin, tapi melihat hantu saja aku sudah tidak suka.” – Minami – hlm. 205

Dari Minami, kita mendapatkan kisah lain dari hantu-hantu selain Ryota. Sekali lagi, aku tidak merasa takut pada hantu-hantu tersebut. Aku lebih merasa tersentuh dengan kenapa mereka meninggal, dan problem apa yang mereka hadapi hingga belum bisa lepas dari dunia ini.
Kusano, Ryota dan Minami, di saat mereka patroli, mereka tidak hanya mencari mobil sport itu. Mereka juga membantu beberapa hantu untuk mendapatkan kelegaan agar bisa melepas dunia ini.
Di novel ini hanya sedikit mengangkat kisah cinta, yaitu kisah cinta Ryota yang diam-diam menyukai Sho-chan, adik Minami. Sho-chan jelas tak tahu, karena dia memang tak bisa melihat Ryota. Dan Ryota, dia  jelas tak berdaya.
“Yang jadi masalah, apa anak ini bakal suka dengan cowok berumur tiga tahun lebih tua yang sudah jadi hantu?” – Ryota – hlm.194

Bonus Track termasuk novel yang isinya cukup bagus. Kita banyak belajar tentang kehidupan, dan persahabatan, juga rasa ikhlas saling membantu.
“Kehidupanku? Apa ya..kalau diringkas mungkin menjadi, ‘Album debut sebuah punk band’.” – Ryota
“Apa maksudnya?” – Kusano
“Selesai dengan cepat.” – Ryota hlm. 332

Sayangnya, novel ini dibuka dengan pengenalan Kusano dan Ryota secara mendetail. Sehingga novel ini terlalu banyak telling-nya.
Menurutku, pengenalan tokoh biarlah menjadi satu dengan alur cerita. Biarkan pembaca berkenalan sendiri, dan menarik kesimpulan seperti apa mereka dari sudut pandang masing-masing pembaca.
Untungnya, setelah bab 2 selesai, cerita interaksi Kusano dan Ryota mulai asyik. Ryota yang begitu ceria dan cerewet tampak pas dipadukan dengan Kusano yang lebih kaku, agak kurang bisa bersosialisasi dengan baik, dan cukup penakut untuk menghadapi sebuah tantangan.
Lalu, muncul tokoh lain seperti Minami, Sho-chan, dan Kobi Koki-Koki. Oh, iya tentu saja kisah hidup tiga hantu yang menambah novel ini jadi nggak membosankan
Suasana kerja keras di novel ini benar-benar khas Jepang sekali. Semangat mereka untuk bekerja sungguh benar-benar perlu dicontoh.
Cover novel ini bagus juga sih. Tapi, aku kurang suka gambar payung di bagian bawahnya. Untuk pemilihan warnanya, sudah oke banget.
Sedangkan ending-nya, em…happy atau sad, ya? Dibilang Happy, ada sad-nya. Dibilang Sad, tapi happy. Yah, begitulah…
Ratingnya. Aku nggak bisa ngasih tinggi karena cara bercerita yang kebanyakan telling-nya. Bikin aku kurang bisa benar-benar penasaran. So, 3 dari 5 bintang cukuplah, ya?!

Thursday, November 20, 2014

Catatan Kecil - JANGAN PERNAH BERHENTI BERLARI

Kata ‘Lulus’, terkesan sebuah titik temu, titik akhir dari sebuah perjuangan. Namun, lulus–kelulusan–sebenarnya awal dari langkah baru untuk menapaki ujian baru.
Ya, kita bisa berbahagia saat kelulusan menyambut kita. Namun, apa gunanya kelulusan itu jika setelahnya kita malah tak melakukan apa-apa. Kalah, terlalu letih menapaki apa yang harusnya kembali kita perjuangkan untuk kelulusan yang baru.
Manusia hidup seperti seorang murid yang terus bersekolah. Dia mengalami ujian-ujian yang berakhir pada sebuah hasil–gagal atau menang. Kemudian, dia dituntut untuk menjalani ujian lanjutan, dan begitu seterusnya sampai dia tak lagi menjejak bumi.
Kelulusan, untuk sebagian besar terdengar sebagai berita gembira. Sama seperti kabar ulang tahun. Namun, jika mau menelaah, kedua kata tersebut sebenarnya sebuah alarm alam yang mengingatkan kita bahwa, kelulusan harusnya menjadi titik berikutnya untuk semakin giat meraih kesuksesan, dan ulang tahun mengingatkan kita bahwa umur kita semakin menipis, terpotong dari jatah waktu kita hidup di bumi.
Apakah kau akan mendiamkan saja? Membiarkan alarm itu berdenging tanpa guna?
Ya, kau tahu apa yang harus kau lakukan.
Saat seseorang lulus–makna semakin dewasa dan semakin paham akan dunia –semakin melekat pada seseorang.  Orang tersebut dianggap sudah matang. Banyak harapan yang tanpa sadar disematkan di bahunya. Semakin berat? Pasti! Tapi, itulah hidup.
Hidup seorang yang bernasib sukses sebenarnya sangat berat. Tapi, karena dia orang yang sukses, dia juga pasti mempunyai kemampuan yang handal. Maka, apa yang berat terlihat ringan di tangannya. Itu karena dia jadi orang yang selalu lulus dengan gemilang dalam ujiannya.
Haaah, rasanya sudah lama sekali kata lulus itu berlalu dari hidupku. Lulus sekolah, lulus kuliah. Sekarang, tinggal meluluskan berbagai hal yang harus aku perjuangkan untuk diluluskan. Berbagai hal yang konteksnya lebih luas, lulus dari cobaan hidup, lulus dalam memilih pasangan hidup, lulus dalam kesuksesan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.

Aku sedang berjuang sekarang, berjuang mendapatkan nilai memuaskan di depan Tuhan Yang Maha Esa. Ini lebih sulit dari pada ujian nasional, atau ujian CPNS. Dan hasilnya pun, masih sangat rahasia.
Rasanya, mengejar kelulusan itu melelahkan. Benarkah? Sama seperti yang aku bilang tadi, manusia hidup tak akan pernah lulus, kecuali dia sudah tak bisa bernapas lagi.
Lelah, kadang-kadang di sebuah sisi hidup ada kalanya kita menghela napas, dan berkata, “Kapan semua ini berakhir? Kapan aku jadi orang yang lulus dan menang? Kapan?
Bolehlah kita berhenti, menengadah pada langit biru, membayangkan kembali apa yang bisa kita dapat dari sebuah kelulusan gemilang? Kebahagiaan, senyum dari orang-orang yang menyayangi kita, rasa lega. Tekat baru untuk bangun pasti lahir kembali. Dan saat itu, saat yang tepat untuk memulai untuk berlari kembali.
Berjuang. Kesannya, manusia memang dituntut untuk terus berlari, mengejar apapun yang dia inginkan agar bisa terteriak, “AKU LULUS!!!”
Kau, lihatlah di depanmu! Garis finis sedang melambai padamu! Kau melihatnya? Di sana menunggu orang-orang yang berharap besar untukmu. Orang-orang yang membuka lebar pelukan mereka untuk memberimu sebuah pelukan hangat saat kau lulus.
Lulus, kelulusan, apapun itu, dia akhir dari sebuah perjuangan, dan awal dari perjuangan baru untuk kembali lulus. []

Tulisan ini diikutsertakan Keina Tralala First Birthday Giveaway
 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos