Sunday, August 17, 2014

Menyinggahi Alas Ketonggo dan Keindahan Misterinya



Setelah trip dari Pacitan yang amazing, beberapa hari kemudian kita lanjut ke sebuah tempat bersejarah yang masih satu Kabupaten dengan tempat aku tinggal. Sayangnya, meskipun tak terlalu jauh, hanya perlu waktu satu setengah jam berkendara dengan motor/kendaraan pribadi, kita baru pertama mengunjunginya. Makanya, saat ketemu Juru Kuncinya kita disindir.
Kalau nggak salah, beliau bilang, “Tempat jauh saja didatangi, tempat yang dekat dan kota sendiri kok nggak pernah ditengok.” Kalau nggak salah begitu. Padahal, kita nggak cerita apa-apa dengan beliau. Hem… Darimana tahunya kalau kita memang suka traveling? Tapi, kebetulan memang benar. :D
Nama tempat itu Srigati, atau biasa juga disebut Alas Ketonggo. Tempat ini berada di Desa Babagan, Paron, Kabupaten Ngawi.
Jalan menuju ke sini tak terlalu mulus. Kita harus melewati jalan tanah yang berdebu. Namun, saat memasuki kawasan Alas Ketonggo, kita akan disambut jalanan berpaving. Lalu, sebuah gapura megah bertuliskan “Palereman Alas Ketonggo Srigati” akan tampak di depan mata kita.

Sebelum sampai di gapura tersebut, sebuah portal menghadang. Kita harus membayar retribusi sebesar, em… kalau nggak salah seribu rupiah per orang.
Setelah itu, kita akan bertemu bangunan yang disebut dengan Pesanggrahan Agung Srigati. Namun, setelah parkir motor, kita memilih menuju Kali Tempuk, yaitu salah satu tempat yang dikramatkan di sana. Tempat itu disebut Kali Tempuk karena disanalah  tempat pertemuan dua arus sungai.

Setelah menapaki tangga menuju sungai, ternyata di sana sudah ada beberapa orang yang berendam tepat di pertemuan dua ujung sungai itu.
Menurut cerita Mbah Marji, sang juru kunci, Kali Tempuk ini tempat untuk mandi besar  (aku menyebutnya begitu) sebelum Parbu Brawijaya V melepas semua busana kebesarannya sebagai seorang raja.
Setelah dari Kali Tempuk, aku mampir di area yang memiliki dua bangunan yang hampir berhadapan. Aku kurang tahu nama pasanggrahan apa, karena di sana tidak ada tulisannya.

Bangunan itu diberi tirai berwarna kuning, dan di dalamnya ada semacam ukiran yang dililit kain bermotif kotak-kotak hitam putih dan ada bunga yang ditabur di bawahnya. Em, mungkin ini yang disebut Pasanggrahan Soekarno.
Di depan bangunan itu ada bangunan lagi bercat putih. Di sana ada meja bertumpuk tiga yang di atasnya ada dua kendi. Di teras bangunan itu ada beberapa sangkar burung.

Setelah dari sana, kita menuju Pasanggrahan Agung Srigati. Memasuki pelatarannya, sebuah lukisan menarikku, lukisan Nyi Roro Kidul yang sangat cantik. Lalu, ada dua lukisan lagi yang di tempatkan berbeda dengan lukisan Nyi Roro Kidul.

Nah, ini yang bikin aku menyesal nggak bertanya makna lukisan itu. Kalau dari pengamatanku, lukisan itu menggambarkan peperangan untuk menyelamatkan bumi, maybe.
Seorang bapak yang tadi sempat aku temui di luar pelataran Pesanggrahan – yang menatap kita dengan tajam – menanyai maksud kedatangan kita. Inilah Mbah Marji, yang ternyata orangnya tak semenyeramkan saat pertama aku bertemu dengan beliau.
Mbah Marji orangnya sangat ramah. Beliau memberi nasihat dan bercerita tentang tempat ini, tentang sejarah Prabu Brawijaya V. Lalu – mungkin – Mbah Marji tahu kita tipe orang yang suka berpetualang di tempat baru, beliau memberitahu kita salah satu tempat yang menarik. Tempat itu bernama Umbul Jambe.
Beliau bercerita singkat tentang tempat tersebut, dan menyuruh kita melihat gambar kalender yang berada di bawah lukisan Nyi Roro Kidul.  Umbul Jambe tampak menarik untuk dikunjungi sepertinya.
Oh iya, kita juga sempat bertanya tentang beberapa hal mengenai Srigati pada beliau. Dengan senang hati Mbah Marji menjawabnya. Ternyata, beliau memang ingin orang bertanya tentang apapun padanya, agar tak ada salah paham dengan tempat ini.  
Salah satu pertanyaan yang aku utarakan adalah, apakah Pasanggrahan Agung Srigati tak boleh dimasuki? Karena tempat itu tertutup rapat dengan kain putih.
Beliau bilang tidak, tapi kalau kami mau lihat boleh. Sayangnya, ada dua tamu yang bergabung dengan kita. Niat untuk melihat tanah gundukan di dalam Pasanggrahan itu terlupakan.
Percakapan kita cukup asyik, beberapa kali kami tertawa lepas karena cerita beliau. Dan saat aku memandangi lukisan Nyi Roro Kidul, beliau bilang, “Cantik, ya?” Iya memang cantik sekali.
Pertemuan kami akhiri. Sebelum pergi, kami bertanya tentang Umbul Jambe. Apakah medannya bisa kami lalu? Mbah Marji menjawab bisa.
Sebelum menuju ke sana, kita mampir ke warung di dekat gapura. Es teh di sana ueenak, gorengannya juga. Di sana kita tanya gimana medan menuju Umbul Jambe pada beberapa orang, agar lebih yakin saja sebenarnya.
Orang-orang di sana menjawab, kita nggak akan bisa melewatinya. Jelas, kami jadi pesimis.  Tapi, karena kita ini tipe orang nekatan, kita memilih untuk ke sana. Kalau nggak bisa, nanti kita balik lagi.

Dengan ketidakyakinan, kami berangkat dengan membawa 1 Vario Tekno berbodi bongsor, 1 Honda 125, dan 1 motor Beat kita membelah jalanan ala hutan.
Perjalanan hampir satu jam, dan kita berhasil melewati medan yang awalnya membuat kita ciut untuk menerjangnya. Gara-gara orang diwarung itu. Tapi, ada bagusnya, kan mereka bilang begitu. Biar kita nggak sombong.

Sebuah jembatan gantung merah putih menyambut kita. Dan itulah yang disebut Umbul Jambe. Di sini ada sebuah sumur yang digunakan untuk mandi sebagai ritual. Dan juga ada bangunan pesangrahan yang dulu tempat bertemunya Prabu Brawijaya V dengan anaknya, Raden Patah. Bangunan ini ditutup dengan bendera merah putih. Dan tentu saja ada punden yang di bawahnya ada bunga dan dupa.

Di sekitar punden, ada sungai dengan batu-batu besar. Sayang, airnya tidak jernih. Tapi, tetap asik untuk mengambil beberapa foto.

Setelah dari Umbul Jambe, kita memilih pulang lewat jalan lain sesuai arahan yang ditunjukkan penduduk sekitar sana.
Menurutku, Srigati kurang terawat. Namun, entah kenapa, tempat itu menyajikan kedamaian yang membuat kangen. Kapan-kapan ingin kesana lagi, sekedar menikmati kesunyiannya.
Dan terakhir, inilah foto-foto kami saat menjelajahi Tempat Mistik yang pernah di kunjungi Tukul Arwana beberapa waktu yang lalu.














No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos