Wednesday, January 15, 2014

FanFiction "THEREAFTER" #WFFB


FanFiction ini diambil

dari novel Melbourne “Rewind”

karya Winna Efendi
 
Apa yang tersisa dari perpisahan?
Hampa.
Iya, itulah yang aku rasakan setelah mengantar Max pergi dalam diam.
Sejujurnya, saat itu aku ingin berlari, memeluk pungungnya, berkata lirih, “Please, don’t go!” Tapi, aku tahu ini mimpinya, ini pilihannya. Berhak ‘kah aku egois mencabut mimpi itu dari hidupnya?
Setahun berlalu. Tempat Max tetap saja kubiarkan kosong. Mungkin, rasa hampa ini terlalu nyaman hingga aku enggan beranjak pergi. Sama seperti kebiasan lama ini, duduk di pojok Prudence Bar, dengan segelas kopi di kanan laptopku. Sibuk mendengarkan musik, mempersiapkan playlist yang akan kuputar malam nanti.
Kadang, aku terdiam, menatap sofa kosong tepat di depanku, dan bayangan Max yang menekuri laptopnya muncul di depanku. Sempurna mengingatkanku padanya, sempurna mengatakan padaku, “Ternyata, aku masih merindukannya.”
Lagu Life After You milik Daughtry belum habis diputar, namun karena perasaan hampaku tiba-tiba berubah rindu─itulah yang mempengaruhi tanganku menggeser kursor dan mengklik dua kali tepat pada tulisan Back To You milik John Mayer, dan bergantilah lagu di dalam earphodku.
Back to you
It always comes around
Back to you
I tried to forget you
I tried to stay away
But it's too late

Pelan, kupejamkan mataku, menyandarkan tubuhku senyaman mungkin dalam pelukan sofa tua Prudence. Menghayati setiap baitnya, menyenandungkannya pelan seperti mengucap doa. Berharap setiap liriknya memanggil Max kembali dalam hidupku. Berharap dia membawakan rasa itu kembali dalam hatiku, menggantikan hampa yang tak pernah pergi.
“Maximillian, mungkinkah kau kembali di hidupku lagi?”
***

Jika lagu yang aku putar tadi, yang kusenandungkan dengan mata terkatup dengan suara lirih bak hatiku yang bernyanyi, benar-benar tersampaikan padanya dan membuatnya berlari menghampiriku saat ini, mungkin inilah yang disebut keajaiban. Dia kembali, dia ada di depanku sekarang, menatapku, dan perlahan tersenyum padaku.
Nyata, iya, dia nyata!
Tapi, kenapa aku gamang?
“Hai!” Syukurlah dia menyapaku lebih dulu. Setidaknya aku tahu dia masih mengingatku.
“Hai, Max!” kucoba mengatur hatiku, menahan semua rasa yang hampir-hampir meluap mengisi seluruh ruang yang dulu hampa. “Apa kabar?”
Dia mengangkat bahunya, bergerak satu langkah lebih dekat denganku. “Baik!” Senyum itu, senyum yang sama, senyum yang selalu membuat aku tertular senyumnya. “What about some coffee?”
Masih juga dengan ajakan yang sama, seperti ajakan pertamanya.
Aku menggangguk, sekarang gantian aku yang bergerak mendekatinya. Saat aku sudah berada tepat di sampingnya, mata kami bertemu, namun tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.
Dia memindahkan pandangannya, berdehem sekali sambil membetulkan tali ransel yang bergelayut manja di bahu kanannya.
Prudence?” Dia menyebut nama bar tempat dulu kami sering menghabiskan waktu.
Aku hanya menggangguk.
Ah, aku butuh waktu untuk bersikap biasa.
Atau aku perlu melihat ke dalam dirinya, di sampingku ini masihkah Maximillian yang sama? Apakah aku masih bisa berlari dan memeluknya sepeti dulu? Atau dia sekarang sudah berbeda?
***
 
Pertanyaanku terjawab. Dia masih tetap sama dengan sosok yang meninggalkanku beberapa tahun yang lalu. Aku bisa menjawabnya setelah beberapa kali bertemu dengannya, menghabiskan waktu di Prudence Bar, menikmati kopi kami masing-masing dan dengan aktifitas kami yang diselingi percakapan ringan dengan topik sedikit menyerempet pada apa yang kami lakukan saat kami berpisah, dan kenapa dulu kami akhirnya memutuskan saling mencintai.
“Ah, hujan!” ucapan lirihnya membuat aku mengangkat wajahku dari layar laptop. Pandanganku ikut-ikutan menatap jalanan depan Prudence lewat kaca besarnya.
“Hem,” gumamku belum mengalihkan pusat pandangku dari hujan.
“Masih sama seperti dulu.” Kudengar desahan nafasnya, namun dia juga belum berpaling. “Masih sama seperti saat kita sering duduk di sini, saat sebelum kita belum seperti ini.”
Kualihkan juga tatapanku. Sedikit menunduk, kukulum senyum simpulku, namun ada yang perih di hatiku. “Seperti ini, memang kita seperti apa sekarang?” kuangkat wajahku, kutatap langsung matanya.
Dia mengakat bahunya. Dengan sedikit kasar dia banting punggungnya pada sandaran sofa. “Sekarang kita berbeda. Kamu dan aku berbeda.”
“Waktu membuat semua orang berbeda, Max!”
“Ya.”
“Sebenarnya, dunia tetap saja berubah, kadang kita saja yang tidak sadar.”
“Tapi, apa perubahan itu bisa mengembalikan sebuah keadaan?”
“Dia bisa menghapus, tapi mungkin dia juga bisa mengembalikan.” Aku kembali menatap layar laptopku. “Memang apa yang ingin kamu kembalikan?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku.
“Hubungan kita.” Ucapannya mampu menghentikan detak jantungku sepersekian second.
“Ya?” tampang bingungku membuatnya tersenyum.
Dia meneguk kopinya sampai tandas, lalu kembali bersandar. “Laura, waktu memang membawa lari hubungan kita, membuatnya putus karena jarak bermil-mil. Sekarang waktu mengembalikan aku di dekatmu. Apakah hubungan itu bisa diikat kembali?” Sekarang kulihat wajah itu tampak serius, lebih serius. “Namanya juga ikatan, jelas tak akan sesempurna tali yang utuh. Namun, aku ingin kita berusaha menyempurnakannya. Apakah kamu mau menjalin hubungan ini kembali?”
Speechless, aku tak siap dengan semua argumen dan pertanyaannya. Ini terlalu mendadak. Memang, aku menikmati kebersamaan kami, tapi untuk kembali, entahlah, aku sedikit takut.
“Max…” sulit sekali merangkai kata ini. “Biarkan aku berfikir. Oke?” Kupijat keningku karena terlalu pusing.
“Kenapa?”
“Entahlah! Mungkin aku sedikit terkejut dengan ucapanmu.”
Dia tertawa hambar. “Terkejut? Benarkah? Aku pikir kamu sudah menantikan pernyataanku. Aku pikir─“ dia memalingkan wajahnya, menatap bartender di ujung lain yang sedang memperlihatkan sedikit kelihaian atraksinya. “Yah, aku rasa aku terlalu percaya diri.” Kulihat bahunya tampak jatuh ke bawah.
“Aku hanya perlu waktu berfikir. Ini bukan sebuah penolakan. Bisakah kau bersabar sebentar. Aku harus benar-benar tahu apa yang aku inginkan untuk hubungan kita.”
“Apa kau tak nyaman dengan kehadiranku?” suaranya tampak lemah.
“Aku nyaman berada di dekatmu.”
“Lalu?”
“Aku takut kau pergi lagi!”
Max mengerutkan dahinya. “Oh, Laura!” Dia menggeleng tak mengerti. “Jadi, masalahnya kamu trauma aku pergi lagi?”
Aku tersenyum sekilas. Kumatikan laptopku dan memasukkannya ke dalam tas. “Aku harus pergi.” Kulirik jam tanganku, pukul delapan lebih lima menit waktu Melbourne, tandanya satu jam lagi aku harus sudah ada di studio untuk persiapan siaran malam. “Kita bicara lagi besok.” Kusandang tali ranselku. “Bye, Max!” ucapku sebelum meninggalkannya. Tampak dia hanya menggangguk dan tak membalas senyumku.
Ah, Max, kenapa kamu tampak begitu kecewa? Kenapa kamu seperti terluka? Padahal aku tak yakin tak melukaimu suatu saat nanti jika kita benar-benar kembali bersama. Dan jika itu terjadi, apakah aku tahan melihat kamu kesakitan karena aku?
Ah, Max, waktu sepertinya merubah hatiku, mendekorasi ruang sempit itu. Apa mungkin waktu membuat buram namamu disana hingga aku sendiri tak yakin untuk berucap “Ya” saat kau menyatakan keinginanmu itu?
“Maaf!” gumamku.
Kupercepat kakiku menyusuri jalanan yang basah karena hujan yang sekarang tinggal gerimis, namun tetap saja udara terasa sangat dingin hingga membuatku harus menarik ujung jaketku semakin rapat.
***
 
Seminggu ini kami tak bertemu. Meneleponku pun tidak. Dan aku semakin terpuruk dengan flu yang melandaku. Sialnya, Cee sahabatku sedang berlibur dengan tunangannya, jadi seratus persen akulah yang harus merawat diriku sendiri.
Hakzziiingggg…!!!!
Entah berapa kali aku bersin. Suhu tubuhku pun tak bisa dibilang normal. Untuk mengambil minumpun rasanya malas bangun. Ya ampun, rasanya aku mau mati.
“Max,” aku ingat hanya dia yang bisa menolongku. Kuraih ponselku yang terdiam di atas meja dekat tempat tidur. Kuketikkan pesan singkat padanya.

Max, bisakah kamu belikan aku obat flu?

Setengah jam kemudian bel berbunyi, susah payah aku menyeret kakiku membuka pintu. Dan saat pintu terbuka, Max memelukku, menyangga tubuhku yang hampir terjatuh.
“Kamu baik-baik saja, Laura?” Katanya sambil mengangkat tubuhku menuju ke kamar. Ah, baunya inilah yang membuatku selalu rindu padanya.
Setelah meletakkanku di atas tempat tidur dan memastikan selimut menutup tubuhku, dia pergi entah ke mana. Yang aku tahu, dia kembali dengan cepat, dan kuarasakan ada handuk basah melekat di keningku. Setelah itu aku disodori beberapa pil dan segelas air. Selesai meneguknya aku langsung tertidur.

Pagi itu, wajah Max lah yang pertama kulihat. Rasanya tubuhku lebih baik. Kucoba untuk duduk. Kuperhatikan Max yang tidur di sofa persis di dekatku. Sepertinya dia membuat sofa kesayanganku berpindah tempat. Aku tersenyum membayangkannya susah payah memindahkannya sendirian.
Thanks, Max!” ada perasaan hangat dalam dadaku. “I love you.” Tanpa aku sadari kalimat itulah yang berikutnya kuucapkan. Dan saat itulah aku sadar, tempat itu masih dihuninya. Sekarang, nama yang dulu samar sudah kembali sangat jelas tercetak di sana.
Kini aku yakin untuk menerima tali yang dia sodorkan padaku.
I love you, Max!”
“Hem…” Aku tertawa mendengar gumamannya dalam tidur. Dia tampak sangat lelah.
Kira-kira tadi malam dia di mana saat aku kirimi pesan, ya? Semoga dia tidak sedang sibuk. []

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos