Tuesday, December 17, 2013

Resensi - The Mocha Eyes "Cinta dalam Segelas Mocha"





Penulis : Aida M.A.

Penerbit : Bentang Pustaka

Tebal Buku   : x + 250 hlm

Tahun  : Mei 2013

Harga : Rp. 44.000

ISBN : 978-602-7888-32-6

“Perasaan manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu tidak akan merasakan bahagia jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu berdasarkan apa yang kamu pilih!” – Ibu Muara – Hlm. 77

Muara, dia hidup bagaikan segelas kopi pahit yang pantang bersua gula. Baginya, itulah rasa satu-satunya yang bisa dia pilih. Tak ada keinginan merubah gaya hidupnya yang seperti manusia antisosial─menghindari keramaian, bahkan enggan berbincang dengan sesama kawan─meski itulah yang membuat dia ditinggalkan kekasihnya, Damar untuk perempuan lain.
“Kamu itu manusia aneh. Kamu terus saja hidup pada masa lalumu. Kebencian dan semua ketakutan yang kamu punya saat ini hanya tabungan dari masa lalumu yang belum kamu keluarkan.” – Ibu Muara – Hlm. 72

Namun, siapa sangka segelas kopi yang dicampur dengan cokelat yang disodorkan seorang pria bernama Fariz  membuat dia membuka hatinya. Perlahan, Muara merubah cita rasa yang selama ini dia pertahankan. Bahkan, dia yang mulai menutup rapat hatinya setelah ditinggalkan Damar, perlahan mulai menampakkan celahnya.
“Kalau kamu mengandaikan hidupmu sebagai kopi yang pahit, sekalipun ada hari yang manis, kamu akan tetap merasa pahit.” – Fariz – Hlm. 139

Muara bukan gadis yang memang terlahir sebagai kopi pahit. Dulu, dia semanis susu, senyumnya secerah mentari. Muara tak berubah tanpa sebab. Semua selalu punya alasannya.
The Mocha Eyes, sebuah novel yang memang diracik khusus sesuai dengan temanya “Mocha” benar-benar menyajikan rasa yang ingin disampaikan. Dengan alurnya yang cepat, The Mocha Eyes dibuka dengan rasa pahit seperti kopi tanpa gula khas Muara, mulai ke tengah ada rasa cokelat yang dituang Fariz. Keduanya mulai menjadi satu, klop membuat pembaca tak bisa berhenti menyecapnya sampai tetesan terakhir.
Dengan sudut pandang bercerita yang berganti-ganti dari sudut pandang Muara, kemudian sudut pandang Fariz dan juga sudut pandang penulis, novel ini tidak membuat pembaca kebingungan menangkap inti cerita. Ciri khas narasinya pun ikut berganti sesuai perubahan sudut pandang ceritanya. Dan, kisah cinta antara Muara dan Fariz tampak manis dengan caranya sendiri walaupun tanpa adegan romantis yang legit.
Karakter di novel inipun menggambarkan rasa yang sama seperti kopi dan cokelat seperti tema yang diambil.
Muara jelas mewakili pahitnya kopi dengan karakternya tak pernah tersenyum, muram, sebisa mungkin menjauhi interaksi dengan orang lain, dingin, bahkan terkesan ketus. Dia sangat bisa menunjukkan keputusasaannya pada hidup.
Sedangkan Fariz, dengan manis dia muncul di tengah rasa pahit yang melanda pembaca. Dia menuangkan rasa cokelat dengan takaran pas. Fariz menjalankan fungsinya dengan baik apalagi dengan latar belakang pekerjaannya sebagai psikoterapis, dia dengan mudah membaur masuk lebih dalam di hidup Muara.
Cara Fariz menjalankan pekerjaannya tampak sangat nyata. Mungkin karena pekerjaan suami Mbak Aida yang seorang hipnoterapis, jadi Mbak Aida dengan mudah melakukan riset tentang segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan Fariz.
Tokoh yang sangat hebat di novel ini adalah ibu Muara. Dengan berbagai cobaan yang bertubi-tubi menderanya, dan beban seorang anak gadis yang mengalami trauma hebat dalam hidupnya, ibu Muara masih bisa berdiri  tegak di atas kedua kakinya. Dia masih bisa tersenyum dan hidup normal meski dia masih harus mendorong putri satu-satunya untuk keluar dari gua gelap yang enggan dia tinggalkan.
Bagiku, novel ini tidak sekedar novel roman biasa. Dia lebih cocok disebut novel inspiratif bertoping romantis. Membuat pembaca tanpa sadar masuk pada bagian-bagian yang menyentuh hati karena hampir dikeseluruhan halaman kita akan bertemu quote-quote inspiratif yang memaksa kita menjejalkan semuanya di rerung jiwa kita.
Tak hanya quote, dari konflik yang dibangun penulis, kita disuguhi pesan moral bahwa melakukan pelecehan seksual pada seseorang akan berdampak besar pada korbannya. Memaafkan masa lalu adalah jalan keluar untuk menemukan bahagia yang sudah kita lupa bagaimana rasanya.
Masih ada satu lagi kejutan dalam novel ini. Jika kita teliti, ada bentuk himbauan bahaya merokok dan penggunaan MSG dalam makanan. Himbauan itu tidak terasa menggurui karena penulis memaparkan dampak dari perilaku berbahaya yang selama ini masih marak dilakukan masyarakat dalam bentuk percakapan atau narasi yang menjadi satu dengan cerita.
Sayangnya, aku kurang setuju dengan covernya, bukan karena desainnya. Menurut aku, desain sudah sangat cocok dengan cerita yang diangkat. Namun, akan lebih sempurna jika cover tidak di potong sepanjang papan yang menuliskan menu spesialnya. Karena terasa sayang saja harus terpotong begitu.
Terima Kasih hadiahnya Mbak Aida M.A
 Dan dengan kemampuan penulis yang kaya diksi, dengan gaya bercerita yang tidak membosankan, akhirnya aku memberikan rating 3,4 dari 5 bintang untuk novel The Mocha Eyes.

Terakhir, novel ini sangat direkomendasikan untuk semua pembaca yang menyukai novel roman yang tak terlalu manis dengan narasi yang cantik dan penuh inspirasi. []

2 comments:

  1. review yg cerdas...Makasih banyak dian.

    ReplyDelete
  2. Makasih kembali Mbak Aida. Nggak nyangka di baca sang penulisnya :D

    ReplyDelete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos