Monday, December 2, 2013

Cerpen - RAINFALL IN LOVE


Tulisan ini diikutkan dalam
Giveaway #TentangHujan

Cokelat panasku sudah tak lagi beruap. Dan aku mulai bosan menunggu hujan berhenti untuk mengijinkan aku keluar dari café ini untuk pulang. Cukup kemarin saja aku melawannya dan berakhir masuk angin.
“Lho, kamu belum pulang?” Kang Yanto pemilik café ini cukup mengenalku karena setelah kuliah aku selalu mampir ke tempatnya.
“Belum, kang. Hujan gini, aku nggak bawa payung lagi!” gerutuku sambil meraih gelas cokelatku yang ternyata benar-benar sudah dingin. “Beberapa hari ini aku kesel sama hujan, Kang! Kalau nggak bikin aku masuk angin, dia bikin aku telat pulang.”
Kang Yanto duduk di depanku. “Al, hujan itu barokah, rezeki, nikmat dari Tuhan. La kok kamu benci. Piye, to!” senyumnya menyembul tulus untukku.
“Bukan benci, Kang. Cuma sebel!
Yo, sama aja, to!” dia tertawa. “Al, jangan benci sama hujan. Nanti kamu bisa jatuh cinta gara-gara dia.”
“Idih, Kang Yanto ini sok melankolis.” Aku malah menertawainya.
“Ya, lihaten sendiri aja kalo gitu!” Dia beranjak dari duduknya. “Itu di pojokan ada payung, bawa saja. Tapi, besok dibalikin, soalnya itu payung dari cewek cinta pertama akang!
“Oke!” Aku segera beringsung sambil memberesi barang-barangku di atas meja.
Saat aku melangkah keluar café, dan berusaha membuka payung, Kang Yanto berseru. “Al!” kuputar tubuhku menatap dirinya. “Akang ketemu cinta akang gara-gara hujan dan saksinya payung itu!” teriaknya. “Semoga payung itu jadi saksi saat kamu ketemu sama cinta kamu juga!
Kali ini tubuhku bergetar karena tawaku yang berderai. Ada-ada saja Kang Yanto ini, masak gara-gara hujan saja aku ketemu cinta aku, sih?!
Tiba-tiba tawaku berhenti. Cinta. Sejak kapan aku melupakannya? Sejak kapan aku tak lagi peduli pada bayangannya? Apakah waktu benar-benar menghapusnya dari benakku? Atau dia memberiku jeda sejenak dan kembali menghantuiku lagi saat aku mengingatnya?
Tanpa aku sadari, aku sudah berada di halte seberang jalan. Aduh, ceroboh sekali aku menyebrang dengan konsentrasi lari kesana kemari. Untung aku nggak ketabrak truk.
Aku duduk bersama beberapa orang yang menunggu bus untuk mengantar kami ke tempat paling nyaman di dunia, rumah. Belum sempat bus datang, perhatian orang-orang teralihkan pada sebuah mobil yang berhenti di dekat halte.
“Kenapa itu mobilnya?” tanya seorang ibu berseragam guru di samping ku. “Apa macet, ya?” dia masih meneruskan tanyanya yang entah ditujukan kepada siapa.
“Oh, ban depan mobilnya bocor kayaknya.” Sahut pria berjas yang berdiri di sisi tiang penyangga halte.
“Waduh, kasihan benar!” Seorang bapak tampak tak tega saat melihat pria pemilik mobil itu hujan-hujanan untuk mengganti ban mobilnya.
Aku dan beberapa orang di sana masih memperhatikan dia yang berjuang sendiri memperbaiki ban mobilnya. Dia tampak basah kuyup dan kesulitan melepas mur yang ada di velg nya.
“Dirga bukan, ya?” kataku lirih. “Kok kayak dia, ya?”
Ah, bukan! Ini pasti gara-gara Kang Yanto yang ngingetin aku sama cinta. Sekarang, aku jadi terbayang-bayang Dirga cinta pertamaku yang nggak pernah bisa benar-benar aku hapus dari ingatan dan hatiku.
Aku sudah tertunduk dan sibuk dengan fikiranku saat pria itu berdiri di antara kami, para penunggu bus.
“Maaf, ada yang tahu tukang ban terdekat di mana, ya?” tanyanya. “Ban mobil saya bocor, dan ternyata serepnya juga kempes.”
“Oh, ada mas! Mas jalan saja dua ratus meter, nanti ada tukang ban di ujung pertigaan itu.” Seorang siswa SMA mencoba membantunya. Dan aku sibuk memastikan kalau dia benar-benar Dirga.
“Kamu Dirga, ya?” tanyaku lirih. Tapi, aku sudah mulai yakin.
Dia berpaling padaku. “Iya.” Dia tampak terkejut. “Kamu?” dia tampak berusaha mengingat-ingat.
Aku tersenyum. Ternyata selama ini dia tak tahu aku. Ya jelas, aku tak pernah berani muncul di depannya. Aku hanya sibuk menatapnya dari jauh dan tak berani terang-terangan bilang suka sama dia.
“Aku…” tiba-tiba saja jantungku berdetak dengan kencang. “Aku Alisa, dulu anak SMA Bima kelas tiga IPA dua.”
“Oh,” dia tersenyum. “Berarti kelas kita bersebelahan, ya?” Auranya masih sama seperti dulu, memabukkan.
Aku mengangguk. “Mau aku antar ke tukang ban pakai payungku?”
“Nggak usah, deh! Aku sudah terlanjur basah kuyup juga.”
“Tapi, kalau kamu kehujanan lagi, bisa sakit lho!”
“Apa nggak ngerepotin?”
Aku menggeleng. “Nggak papa!”
Setelah dia mengiyakan aku beranjak dan kami berjalan berdua dengan payung Kang Yanto. Untung payung itu cukup lebar untuk kami berdua. Walaupun aku masih agak kehujanan karena aku tak berani terlalu dekat dengannya. Aku takut dia mendengar detak jantungku yang bertalu.
Kami berjalan dalam diam. Namun sebuah sentuhan membuatku terkejut. Ternyata tangannya yang menarikku mendekat ke arahnya.
“Kaget, ya?” tanyanya hanya kujawab dengan senyum. “Kalau kamu menjauh begitu, kamu yang akan basah.” Senyumnya, Tuhan! Aku meleleh dibuatnya.
Aku masih menatap wajah itu saat dia berseru, “Itu dia tukang bannya!” Entah reflek atau apa, dia mencengkram tangan kananku dengan tangan kirinya yang tadi memegang payung. Dan entah sejak kapan pegangan payung itu berpindah ke tangan kanannya.

Sekarang aku duduk di kursi penumpang mobilnya. Setelah ban mobilnya beres, dia mengantarkanku pulang. Saat di perjalanan kami mengobrol. Aku tanya dia dimana sekarang, padahal aku tahu dia kuliah di Jakarta ambil jurusan kedokteran di UI. Otakku ini tiba-tiba lebih bodoh dari biasanya. Yang keluar dari mulutku rasanya kok terdengar kalau aku senang sekali bertemu sama dia, dan kalau aku masih suka sama dia. Aku benar-benar takut dia tahu selama ini aku memendam cinta untuknya.
Dia menurunkanku dengan selamat di depan rumah. Karena saat itu hujan sudah reda, aku melupakan payung yang kuletakkan di dekat kakiku karena basah. Dan aku merasa bersalah sama Kang Yanto yang terlihat terkejut karena aku menghilangkan payungnya. Aku minta maaf berkali-kali sekalipun dia bilang nggak papa. Aku tetap merasa nggak enak. Aku akan berusaha mencari payung itu.

Tiga hari berlalu setelah kejadian itu, dan sekarang hujan kembali jatuh dengan derasnya. Lagi-lagi aku ceroboh tidak membawa payung di tasku. Aduh, tandanya aku harus rela jenuh duduk di cafe Kang Yanto sampai hujan agak reda.
“Kang!” panggilanku membuatnya menghentikan langkah.
“Apa, Al?” jawabnya terlihat khawatir. “Kalau mau pinjam payung, aku sudah nggak punya payung. Payung yang kamu pinjam itu ya payungku satu-satunya.”
“Maaf, ya Kang!”
Dia duduk di depanku. “Sudahlah, nggak apa-apa!” dia tersenyum.
“Kang,” kutatap dia. “Doa akang kemarin terkabul.”
“Doa yang mana?”
“Doa biar aku ketemu cinta aku.”
“Karena hujan?” senyumnya makin lebar. Aku menggangguk. “Karena hujan kamu ketemu cinta kamu?”
“Mungkin! Yang jelas, hujan itu mempertemukanku pada cinta pertamaku.” Aku menunduk.
“Masak, to?”
Aku menggangguk.
“Kamu masih cinta sama dia?”
Aku menggangguk lagi. “Saat satu payung dengannya, aku hampir pingsan karena tak kuat menahan debaran jantungku, kang.”
“Kalau kamu ketemu dia lagi, apa kamu akan mengatakan kalau kamu cinta sama dia?”
Aku diam.
“Al, cuma beberapa orang di dunia ini yang bisa membaca fikiran manusia, salah satunya Deddy Corbuzier. Dan aku rasa cinta pertama kamu itu nggak punya kemampuan seperti itu. Kalau kamu diam saja, mana dia tahu perasaan kamu! Ya, to?”
“Aku nggak berani, Kang! Takut ditolak!”
“Ditolak itu masalah belakangan. Kamu mau terus mengharapkan dia selama hidupmu karena mencintainya diam-diam?” Aku menggeleng. “Nah, kalau kamu ngomong sama dia, setidaknya kamu tahu dia juga suka atau tidak sama kamu. Kalau jawabannya memang nggak, berarti kamu memang nggak berjodoh sama dia, dan kamu nggak akan mengharap cinta dia lagi.”
Kang Yanto benar.
“Jadi?” dia menatapku.
“Jadi, aku akan bilang sama dia, kang!”
Kang Yanto tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, yang itu bukan cinta pertamamu?” Kalimat Kang Yanto membuat aku mengikuti tatapannya.
Aku melihat Dirga berjalan dari mobilnya ke arah halte di seberang jalan menggunakan payung Kang Yanto.
“Iya, kang. Iya itu dia!” aku langsung berdiri dari dudukku dan bergerak cepat keluar cafe. Rasanya aku lupa kalau saat itu hujan.
“Al!” panggilan Kang Yanto menghentikanku yang hampir bergerak menyebrangi jalan. Kulihat wajah ramah itu. “Jangan lupa bilang perasaanmu padanya!” teriaknya.
Aku menggangguk dan menyebrangi jalan saat mulai aman.
“Dirga!” dia terkejut melihat aku yang basah kuyup.
“Hai! Kok hujan-hujanan?”
“Kalau nggak hujan-hujanan kamu bakalan pergi sebelum aku sempat ngomong sama kamu.” Jawabku dengan nafas ngos-ngosan.
“Ya?” dia tampak bingung.
Aku merasakan tak ada butiran air hujan menyerangku lagi. Ternyata Dirga memayungiku, kami berada dalam satu payung lagi seperti tiga hari yang lalu.
“Tentang hatiku sejak empat tahun yang lalu.” Dia menatapku penasaran, tapi dia memilih mendengarkan. Kutelan ludahku untuk mengobati kegugupanku. “Aku...” Kupejamkan mataku tak berani melihat reaksinya. “Aku suka sama kamu!” kuucapkan kalimat itu lantang dan cepat. Tak terdengar jawaban apapun. Terpaksa kubuka mataku, dan pasrah dengan apa yang akan aku lihat.
Senyuman, yang aku lihat senyuman bukan wajah kaget dan takut.
“Aku tahu!” dia mengeluarkan buku harian warna merah dari dalam saku jaketnya. “Kamu nggak cuma ninggalin payung. Tapi, kamu juga menjatuhkan buku ini di mobilku.”
Aku meringis. Pantas dia jawab ‘aku tahu’. Aduh, cerobohku benar-benar sudah parah. “Dan...” dia kembali tersenyum. “Karena hujan kemarin, karena bertemu denganmu lagi, karena tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat menyentuh tanganmu, karena kamu membuat dadaku hangat saat menatapmu, akhirnya hatiku jatuh di sini!” dia menunjuk dadaku. “Aku jatuh cinta sama kamu!”
Kututup mulutku dengan kedua telapak tanganku, dan mataku tak henti menatapnya.
Suara tepuk tangan di belakangnya menyadarkanku dan dia bahwa halte sore itu ternyata masih ramai seperti biasanya. Kami menatap wajah-wajah ikut bahagia di depan kami sambil mengucapkan terima kasih karena menerima doa dan selamat bertubi-tubi.
“Daaarrrrr” suara petir yang tiba-tiba, membuatku terkejut dan tanpa sadar memeluk pinggangnya.
“Kamu nggak papa?” bisiknya sambil mengusap lenganku. Kulepas pelukanku, dan beringsut agak menjauh darinya. Dia tersenyum. “Kuantar kamu pulang.” Dia menarikku mendekat padanya dan kami berjalan menuju mobilnya masih dinaungi payung yang dipegangnya.
“Antar aku ke cafe di depan itu, ya? Barangku masih tertinggal di sana.” Kutunjuk cafe Kang Yanto.
Dia menggangguk sambil memutar stir.
Ku kembalikan payung cinta milik Kang Yanto sambil berbisik, “Payungnya dahsyat, Kang!” Dia tertawa.
“Selamat, yo Al!” dia balas berbisik sebelum aku pergi bersama cintaku.
Hujan, terima kasih! Walaupun kamu membuatku telat pulang, ternyata kamulah yang mempertemukan hati yang telat bertemu.
***

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos