Friday, March 11, 2016

[Review] HAPPILY EVER AFTER “Slice of Live”




Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Young Adult, Family, Friendship
Terbit : 2014
Tebal : x + 358 halaman
ISBN : 979 – 780 – 770 – 2
Harga : Rp. 63.000

Lulu menyukai dongeng, sangat. Namun, dia sangat sadar, hidup di dunia nyata tak pernah semudah di dunia dongeng. Happily ever after? Rasanya, tak ada kisah yang seperti itu. Apalagi, setelah Karin – sahabatnya – berubah dari itik abu, menjadi angsa yang begitu cantik di sekolahnya, lalu meninggalkan Lulu yang masih setia dengan panggilan Lucifer dari teman-temannya.
“Inilah yang kurasakan detik ini : bahwa selamanya tidak pernah ada. Detik ini, selamanya berhenti, dan aku sadar, ungkapan kebahagiaan selama-lamanya adalah omong kosong belaka.” – Lulu – hlm. 61

Rasanya, belum cukup pedih ditinggalkan sahabat, Lulu juga harus menerima saat Ezra memutuskan hubungan di antara mereka. Hidup Lulu yang kalang kabut, didera berbagai cobaan, masih ditambah lagi satu rintangan. Rintangan yang terberat untuk Lulu. Ayahnya, orang yang paling dikaguminya, dan paling diidolakannya terkena kanker hati.
“Tapi, Lu, kalau kita terus mikirin sembuh nggak sembuh, kadang kita lupa untuk benar-benar hidup.” – Eli – hlm. 98

Di saat-saat terberat itu, Lulu bertemu Eli, cowok yang mengidap kanker otak. Lulu belajar banyak dari Eli tentang cara menerima keadaan dengan lapang dada. Dari Eli, Lulu bisa menemukan sedikit kebahagiaan di tengah kesedihan.
Namun, apakah Lulu berani melangkah lebih jauh bersama Eli? Lulu tahu dengan pasti, sama seperti ayahnya, Eli juga bisa pergi tiba-tiba.
“Alam semesta ini punya punya rahasianya sendiri, Lu. Yang perlu kita lakukan adalah percaya pada rencana-rencana di baliknya.” – Eli – hlm. 251
 
Happily Ever After, entah novel ke berapa dari karya Winna Efendi yang aku baca. Banyak yang bilang suka dengan sepotong hidup Lulu ini. Sepertinya, aku tidak merasakan hal yang sama.  Jujur, aku merasa novel ini gagal mempesonaku.
Aku memang kurang suka dengan gaya penulis memulai kisahnya. Tapi, biasanya setelah seperempat kisah aku lalui, aku sudah bisa menemukan sisi nyaman dan nagih untuk terus membacanya.
Sayang sekali, di novel ini aku tidak merasakannya. Mungkin, ini masalah selera. Aku memang tidak terlalu tertarik dengan kisah terlalu sendu, berbalut berbagai penyakit, dan aku juga bukan penggemar dongeng. Sedangkan novel ini mempunyai tiga hal tersebut.
Sebenarnya, meskipun ada tiga sisi itu, kalau cara berceritanya enak, dengan kisah yang punya kejutan-kejutan, aku bisa menyukainya juga. Seperti di novel People Like Us karya Yosephine Monica yang tokohnya juga mengalami sakit berat, aku tak melompati satu kalimatpun saking menikmatinya.
Lagi-lagi aku harus jujur, kali ini penulis menciptakan narasi yang terlalu mendayu, dan itu adalah kelemahanku. Kedetailan penggambaran cerita lewat narasi yang panjang juga kelemahanku. Kalau rasanya bagian itu bisa dipangkas sedikit, pasti lebih yummy. Nah, biasanya kalau ketemu dua unsur itu, aku hobi banget lompat-lompat kalimat. Ambil beberapa kalimat dalam satu paragraf, sekedar untuk menemukan benang merah cerita.
Meski begitu, aku menemukan bagian yang aku suka di novel ini, saat Lulu bertemu Eli, saat cinta mereka perlahan bersemi. Kayaknya, akan lebih seru kalau penulis fokus cerita ke mereka berdua. Tapi, novel ini memang didedikasikan untuk ayah Lulu, sih. Mau bagaimana lagi.
Karakter Lulu yang terkesan tak terlalu ambil pusing dengan semua yang terjadi dengannya – maksudku dengan keadaan di sekolah dan kondisi persahabatannya dengan Karin – membuat Lulu terkesan dingin. Sisi hangat Lulu hanya muncul saat bersama ayahnya, atau dengan Eli, itu yang aku tangkap.
Eli ini tipe cowok yang menyenangkan. Dia bisa begitu tegar dengan keadaanya yang kapanpun bisa saja menemukan akhir. Kejailannya membuat suasana novel ini sedikit berwarna.
Intinya, novel ini kurang berwarna, kurang pedas. Meskipun mellow, warna-warni dan kejutan juga sangat diperlukan.
Endingnya, menurutku itu happy ending. Kan, happy ending nggak harus ‘akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia selamanya’. Kalau masing-masing tokohnya bisa menemukan hidup yang lebih baik, tetap masuk happy ending.
Tapi, dari novel ini aku belajar banyak tentang rasa menerima keadaan, dan rasa bersyukur karena diberi kesehatan.
Rating untuk novel ini 1,2 dari 5 bintang. Kayaknya, aku yang ngasih rating terendah di goodreads. Tak apalah, seringnya aku kasih 3-4 bintang buat karya Winna Efendi.

2 comments:

  1. Waw, itu rating kecil banget.. Kembali, semua soal selera. Dan saya justru penasaran dengan kisah dalam novelnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, nggak tahu kenapa, kali ini nggak sreg sama tulisan Winna, mungkin selera aku aja sih hehehehe

      Delete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos