Thursday, August 27, 2015

Resensi – HANAMI “Masa lalu jalan takdir sebuah pertemuan”



Penulis : Fenny Wong
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Jepang, Yakuza, Family Drama
Terbit : 2012
Tebal : vi + 450 hlm
ISBN : 979 – 780 – 582 – 4
Harga :Rp. 53.000
“Aku begitu sedih kemarin ketika tahu mungkin Ayah telah membuangku… Namun dalam pelukan Keigo tadi, aku sadar, untuk apa mengejar orang-orang yang tidak menginginkanku… ketika yang begitu menyayangiku ada tepat di hadapanku.” – Sakura – hlm. 53

Nishikado Sakura, dia tak pernah tahu siapa ayahnya, siapa ibunya. Di dalam hidupnya, hanya ada satu sosok yang sangat mempengaruhi hampir keseluruhan hidupnya, Kawaguchi Keigo. Dialah sosok kakak sekaligus orang tua baginya. Namun, sebenarnya Kaigo tak punya hubungan darah sedikitpun dengan Sakura.
“….Kau melarangku ini, menjagaku agar tidak melakukan itu. Kau membuatku jauh dari teman-temanku., seakan menginginkanku untuk dirimu sendiri, sementara aku bahkan tidak tahu kau itu siapa.” – Sakura – hlm. 28

Hidup tak akan terasa pas tanpa mengetahui asal-usul kita berada di dunia ini. Karena itulah Sakura berkeras mencari siapa keluarganya yang sebenarnya.
Sakura meyakini, Keigo mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Tapi, Keigo tak pernah membuka mulutnya. Dia hanya memberi Sakura sebuah foto. Dan, dia berkata, wanita itu adalah ibunya.
Ternyata, waktu mempertemukan Sakura dengan seorang wanita tua. Dulu, di toko dango wanita tersebut, ibu Sakura pernah bekerja. Wanita itu pulalah yang menceritakan tentang sekelumit hidup ibu Sakura dan saat itulah Sakura mendengar nama Sakamura Jin disebut.
“…Aku tidak percaya ada kebetulan semacam ini. Aku mengajakmu ke dalam dan membiarkanmu menggunakan telepon karena kau mirip sekali dengan Tsubaki. Ternyata, kau memang benar-benar anaknya…” – Nenek Inoue – hlm. 17

Kemudian, tanpa bisa ditebak, kebetulan membawa Sakura bertemu Jin. Tanpa dia tahu, Jin yang lebih dikenal dengan nama Silver adalah sosok yang dia cari selama ini, yang dianggap Sakura sebagai kakak tirinya. Jin membawa Sakura semakin mengenal kisah-kisah pahit di masa lalunya. Sekaligus menorehkan perasaan yang tak pernah dia duga.
“Karena aku tahu segalanya tak pernah baik-baik saja, jadi untuk apa aku menyesali segalanya? Kenaifan itu yang membuatku bertemu dengan Jin-nii. Karena itu aku tidak membencinya… karena walaupun aku begini, Jin-nii ada di sini di sampingku.” – Sakura – hlm.180

Ternyata, saat Sakura dekat dengan Jin, ada sebuah hati yang pedih, hati Keigo.
Sakura dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Keigo atau Jin? Belum cukup masalah ini, kenyataan pahit tentang ibu dan ayahnya membuat Sakura merasa sulit menerima masa lalu itu. Padahal, dulu dia bersikeras ingin mengetahuinya.
“Terkadang, ketika kau mencari sesuatu begitu lama, lalu kau tiba-tiba diberi jawabannya, dengan cara yang sama sekali tidak terduga, kau akan menolak kenyataan itu.” – hlm. 291

Hanami, novel penuh teka-teki di setiap sisinya. Kita diajak menemani Sakura untuk mencari jawaban dari masa lalu, bertemu satu persatu tokoh yang ingin dia temui namun kadang mereka berhasil menimbulkan pilu dalam hati Sakura.
Tak ada pertemuan yang sia-sia, mungkin bisa dibilang seperti itu. Pertemuannya dengan seorang wanita tua membuat satu kunci  terbuka, kemudian petemuannya dengan Sakamura Jin yang membawanya berlari menembus pintu jaman dahulu kala.
Kisah Yakuza dalam novel ini tidak hadir sebagai bagian dari pusat cerita, dia lebih seperti status saja. Pusat cerita adalah Sakura yang mencari masa lalunya, juga kisah cinta segitiga antara Sakura, Jin dan Keigo.
Sakura meskipun tumbuh tanpa orang tua, dia tetap menjadi sosok yang kuat, ceria, dan punya tekat pantang menyerah, namun dia cukup keras kepala. Sedangkan Keigo hadir sebagai laki-laki dewasa yang berusaha menjadi kakak yang baik, sekaligus bisa berperan sebagai orang tua untuk Sakura. Sedangkan Jin, hidup membuat karakternya menjadi lebih keras.
Jin menjadi seorang bartender karena baginya menjadi Silver terasa misterius dan sendiri, membuat dia bisa menghindar di pojokan. Sebagai bartender, dia merasa bisa membawa orang-orang kabur dari masalahnya.
Namun, setelah bertemu Sakura, Jin teringan mimpinya dulu, dia ingin menjadi patisserie, membuat kue-kue manis agar hidupnya juga bisa semanis mereka. Dan, dia bertekat mewujudkannya.
Menurutku, novel ini punya adegan kebetulan yang cukup banyak. Untungnya, penulis bisa menyamarkannya dengan jalan cerita yang mengalir dan cara bercerita yang ringan, sehingga aku cukup bisa menikmatinya. Meskipun, kadang cerita terasa berputar-putar dan tak segera berkembang ke babak selanjutnya.
Endingnya aku suka. Penulis seperti menuliskan rangkupan cerita dari sudut pandang Sakura.
Rating 2,7 dari 5 bintang. Terima kasih sudah membuat narasi yang tidak menjenuhkan.

Tuesday, August 25, 2015

BERBURU PANTAI DAN PELANGI DI TULUNGAGUNG



Setelah bulan Juli kemarin kita nggak puas sama Trenggalek yang cuma berhasil meng-eksplor dua pantai saja (Baca ulasannya disini). Kali ini, tanggal 24 Agustus 2015, Tulungagung yang jadi objek penjelajahan kita.
Berangkat dari rumah jam empat pagi, kita sampai di parkiran sekitar jam delapan kurang. Istirahat dulu sekitar setengah jam untuk sarapan pagi, karena kita butuh tenaga ekstra full untuk menuju tiga tempat dalam satu kawasan ini.
Pantai Coro, Tebing Banyu Mulok dan Pantai Dadap berada satu kawasan dengan Pantai Popoh, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Kita harus bayar retribusi seharga Rp. 5.500 per orang dan parkir mobil Rp. 2.000. Bedanya, kalau ke Pantai Popoh kita belok kanan, untuk ke tempat yang kita tuju, kita belok kiri. Nanti ada papan petunjuknya, kok.
Ada dua pilihan cara untuk menuju Pantai Coro, yaitu dengan ojek seharga Rp. 15.000 satu kali perjalanan, atau jalan kaki. Kalau kamu termasuk tipe orang yang suka tantangan, manfaatkan kakimu sebaik mungkin.
Pantai Coro di pagi hari
Banyak memang yang bilang perjalanannya berat, namun menurut aku sih ini masih bisa dihadapi. Kamu hanya perlu tekat, air minum, bawaan seadanya–jangan berat-berat, sepatu/sandal yang nyaman untuk track naik turun dengan medan tanah yang agak licin karena tanahnya yang gampang longsor. Paling enak sih pakai sandal gunung. Kalau perlu, bawa kayu buat pegangan, dan juga topi karena cukup panas kalau siang.
Petunjuk arah ke Pantai Coro
Jalan kaki menuju Pantai Coro perlu waktu sekitar 15-30 menit. Tinggal berapa kali dan berapa lama kalian istirahat. Kalau aku, aku perlu waktu sekitar 15 menit karena nggak pakai istirahat. Makanya, waktu tempuhnya hampir sama dengan waktu naik ojek. Kok bisa? Karena jalan yang dilalui sepeda motor dan jalan kaki berbeda. Jalan kaki punya track yang lebih pendek namun sedikit lebih susah dibanding track untuk motor. Tapi, nggak masalah, kok. Gampang!

Track ke Pantai Coro

Sedikit mendaki, perjuangan menuju Pantai Coro

Pantai Coro dari jalan setapak. Sebentar lagi sampai!!!

Pantai Coro di pagi hari lebih indah dari pada di siang hari. Airnya tampak jernih dengan bebatuan yang mengintip dibalik deru ombak yang sangat bersahabat. Jadi pengin berenang dan foto-foto lebih lama. Pasirnya juga bikin pengin lepas sepatu dan menikmati lebutnya pasir putih yang beneran bagus banget.
Pose setelah jatuh. Di situ pula aku jatuhnya.
Tapi, panggilan untuk segera bergegas menuju Tebing Banyu Mulok udah meraung-raung kayak alarm aja. Meskipun nggak rela meninggalkan Pantai Coro, mau nggak mau kita jalan juga. Walau tetep aja masih berhenti sesekali untuk minta foto. Nah, waktu itulah, saat aku menginjak salah satu batu, aku terpeleset. Untung daerah itu kering, jadi nggak basah. Paling, pantatku yang agak sakit. Mungkin, karena sepatu aku yang jadi licin setelah menginjak pasir, lalu menginjak bebatuan yang halus banget.
Lanjut, kita kembali menyusuri jalanan setapak menuju Banyu Mulok. Jangan mengharap ojek di sini. Yakinlah kamu BISA! Karena disepanjang jalan, hamparan savanna hijau, juga deru ombak akan menemanimu.
Savana menuju Tebing Banyu Mulok

Nggak akan bosan di perjalanan, hijaunya savana bikin seger.

Kalau kamu nggak pakai istirahat lama-lama, kamu bisa sampai di sini sekitar 15-25 menit. Awalnya kamu akan melihat savanna dengan latar belakang laut lepas. Semakin mendekat, kalian bisa melihat tebing bebatuan dan laut lepas yang biru memukau, juga semburan air dari ombak yang menghantap tebing di bagian bawah, menciptakan air mancur yang bisa menciptakan pelangi.
Memandang ke belakang, laut lepas yang bikin damai
Serius, di Banyu Mulok, kalau kalian berjalan ke kiri tebing, coba perhatikan semburan air setelah ombak menghantam tebing, kalian akan melihat pelangi. Fenomena indah ini cuma bisa dinikmati di saat pagi hari sebelum jam sembilan pagi, atau sore mulai jam tiga sore. Itupun kalau matahari bersinar cerah, kalau mendung ya nothing.
Ini Pelangi yang paling sempurna. Nggak semua orang beruntung bisa melihatnya
Pantai selanjutnya, Pantai Dadap. Dari Banyu Mulok, kalian harus berjalan ke arah kiri, acuannya adalah saat kalian menghadap laut. Ikuti saja jalan setapaknya, dan dengarkan deburan ombaknya. Hanya perlu waktu 10-15 menit, dan kalian akan bertemu pantai pribadi yang sepi banget. Mungkin, jarang yang tahu pantai tersembunyi ini. Rugi banget nggak ke Pantai Dadap kalau kamu sudah sampai di Banyu Mulok.
Perjuangan saat kembali dari Pantai Dadap
Track jalan kaki ke pantai ini agak lebih susah. Tanahnya gampang longsong, juga curam. Harus benar-benar hati-hati. Jalan masuk ke pantai ini melewati rerumbunan semak. Dan, saat keluar dari sana, pemandangan pantai langsung tersaji.


Semak-semak, pintu masuk Pantai Dadap

Satu lagi kesulitan yang harus dilalui di Pantai Dadap. Ini gimana cara turun dari batu karang biar bisa ke pantainya? Aduh, takut juga mau turun. Tapi, mas-mas dan mbak-mbak rombongan dari Gresik yang sudah di sana lebih dulu, ngasih tahu cara turunnya. Mereka berangkat dari Gresik jam 10 malam, hebat.
Pantai Dadap

Meski udah dikasih tahu ‘nggak papa turun lewat situ’, aku ya tetep takut. Si Amal– keponakanku–mencoba turun lebih dulu. Setelah tahu caranya, dia yang bimbing aku buat turun, dan akhirnya kita – beberapa anggota saja – bisa turun, meskipun yang takut tetap lebih pilih nunggu di atas. Di sini, memang perlu ekstra nyali kali, ya. Tapi, bakalan terbayarkan, kok, sama keindahannya.
Ini yang nggak berani turun. Batu karangnya cukup tinggi. Maaf, jalan turun lupa nggak difoto

Pantai ini nggak lebar, sama kayak Pantai Coro pun begitu. Namun, keindahannya benar-benar maksimal banget. Kalau musim penghujan, di Pantai Dadap ini ada air terjunnya. Sayangnya, saat aku ke sana airnya kering. Pasir di pantai ini juga putih banget, kayak di Pantai Coro. Di sini juga lebih nyaman karena ada pohon yang menaungi pantainya. Huaaahhh…. Keren banget, deh pantai ini.
Saat mau balik pulang, mikir lagi tuh, gimana naik ke atas karang tadi? Mas-mas yang dari Gresik udah balik lebih dulu. Untunglah Tuhan mengirimkan rombongan lain dari Kediri. Para cowok-cowok ini bantu kita naik. Hap..hap..hap.. aman, Alhamdulillah!!!
Jalan lagi kita dari Pantai Dadap ke Tebing Banyu Mulok. Kita mencoba berburu pelangi lagi, tapi kok nggak keluar. Ya, ternyata seperti yang aku bilang tadi, cuma di pagi dan sore hari aja munculnya. Padahal, aku kan belum dapat pelangi yang kayak punya Nyong Manda. Huaahhh… sudahlah, yang penting udah dapat pelangi seiprit. Setidaknya masih kebagian, dari pada yang lain.
Ini pelangiku. Duh, berasa bidadari.

Sebelum turun ke Pantai Coro, ada penjual ikan bakar yang tempatnya persis di atas tebing Pantai Coro. Harganya nggak mahal, enak pula. Rp. 15.000 untuk satu porsi ikan bakar plus nasi. Satu porsi ikan bakar isinya dua. Kalau beli satu dimakan berdua cukup. Info waktu munculnya pelangi di Banyu Mulok aku dapat juga dari penjual ikan bakar ini.
Dari Pantai Coro, kita pilih ngojek aja. Soalnya ngejar waktu untuk ke Tebing Kedung Tumpang di Kecamatan Pucanglaban, Tulungagung. Kata Dek Im alias @ariputuamijaya yang sudah sampai sana, tempat ini bagus banget. Ternyata, saat kita ketemuan di Musolla – tempat yang nggak sengaja bikin rombongan kita ketemu dia – dia bilang, kita nggak akan mampu. Soalnya kita perlu lewat jalan curam yang harus pakai tali untuk menuruninya. Nah, lho… mikir, nih. Tenaga kita, kan, sudah terkuras untuk ke tiga tempat tadi.
Menuju Kecamatan Pucanglaban, kita harus tanya beberapa kali sama penduduk setempat. Karena nggak ada petunjuk arah, banyak pertigaan atau perempatan pula. Sudah berusaha tanya aja masih nyasar gara-gara mas-mas yang salah ngasih arah. Makanya, kalau bingung langsung tanya orang aja. Jangan percaya sama hati, apalagi halusinasi.
Nggak jadi ke Kedung Tumpang, kita ke Pantai Molang. Pantai ini letaknya sejalan sama ke Kedung Tumpang, dan masih di Kecamatan Pucanglaban. Saat lewat parkiran Kedung Tumpang, terpanalah kita dengan jajaran mobil yang penuh. Bayangkan gimana penuhnya tempat itu coba.
Pantai Molang

Pantai Molang cukup sepi, hanya ada dua atau tiga mobil. Tapi, pantai ini panas banget, termasuk pasirnya yang putih. Kalau kalian belum bertemu tiga tempat di atas, pantai ini termasuk cukup cantik karena masih alami.
Di sini, ternyata kita cuma mampir buat makan siang aja. Setelah itu lanjut ke Pantai Lumbung yang katanya bisa melihat Tebing Kedung Tumpang.
Batu raksasa di Pantai Lumbung

Jalan menuju dua pantai ini agak berabe. Jalannya kecil dan cukup jelek. Jadi lebih susah buat yang bawa mobil. Tapi, Pantai Lumbung bagus dan sayang untuk dilewatkan. Cuma, lagi-lagi nyali kita ditantang untuk turun ke bawah. Melewati jalanan setapak yang sedikit agak sulit dilalui, dan harus turun tangga kayu sederhana untuk sampai ke pantainya.
Kelihatannya memang sulit, tapi nggak sulit-sulit amat, kok. Lebih sulit di Pantai Dadap tadi. Kalian hanya perlu berhati-hati dan jangan gegabah, itu aja.
Berjuang untuk pulang dari Pantai Lumbung

Mikir, ini gimana cara turunnya?
Bismillah, ini aman. Asal hati-hati. Terima kasih buat yang bikinin jalan turun ini.

Pantai Lumbung punya ombaknya yang nggak terlalu ganas, tapi harus tetap hati-hati. Dari sini, kita bisa lihat tebing yang ada batu berbentuk kotak, nah… katanya di sanalah Kedung Tumpang berada.
Setelah puas, kita lanjut lagi perjalanan. Niatnya pengin mengejar waktu untuk sampai ke Mangrove di Kecamatan Watulimo, Trenggalek. Tapi, gatot. Huft, sudahlah… Mangrove punya jalanan yang mulus, kok. Kapan-kapan bisa jalan ke sana lagi.
Perjalanan kali ini, meskipun nggak puas banget karena Mangrove dan Kedung Tumpang yang ter-pending, tapi lumayan lah. Setiap perjalanan yang memakan tenaga ekstra terbayar tunai dengan pemandangan yang menakjubkan.
Masih ada beberapa tempat di Tulungagung yang masuk wishlist untuk dieksplor lain kali. Tapi, untuk mendatang kayaknya butuh beberapa anggota perjalanan lagi tambahan karena beberapa anggota sepertinya nggak sanggup kalau diajak ke Kedung Tumpang. Ada yang mau ikut? Lumayan, buat diajakin patungan :D
Dan, inilah oleh-oleh dari Tulungagung.


Tebing Banyu Mulok

Batu Besar di Pantai Lumbung

Pasir putih Pantai Lumbung

Pantai Coro


Pantai Coro

Pantai Coro

Pantai Coro

Pelangi di Tebing Banyu Mulok

Pantai Dadap

Pantai Coro, bening banget airnya

Pantai Lumbung

Banyu Mulok dari savana

Pantai Lumbung


Pengin tahu foto-foto seru traveling kita? Bisa mampir ke Instagram aku @dianputu26 , Instagram @mandandaaa dan bisa juga main ke Instagram @ariputuamijaya mungkin kita bisa menginspirasi kamu untuk lebih bersemangat menikmati alam Indonesia


 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos