Thursday, May 21, 2015

Resensi – CRYING 100 TIMES “Kaki terus melangkah, meski hati mau mati”

Penulis : Nakamura Kou
Penerjemah : Khairun Nisak
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Terjemahan, Novel Jepang
Terbit : Juni 2013
Tebal : 256 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 19 – 2
Harga : Rp. 49.000
Setiap orang di dunia ini, selalu berharap hidup bahagia bersama semua yang dia sayangi. Begitu juga dengan Fujii.
Awalnya, harapan itu tampak baik-baik saja. Namun, jalan hidup tak pernah benar-benar mulus. Anjing kesayangannya – Book – mulai sakit-sakitan. Tak ada yang tahu sampai kapan dia akan bertahan.
“Mimpi adalah sesuatu yang sedikit berbeda dengan hal-hal yang dipikirkan maupun dirasakan, bukan? Dia memang sesuatu yang juga keluar dari dalam diri kita, tapi seperti sesuatu yang diperlihatkan di bioskop atau televise, kan?” – Yoshimi – hlm. 123

Di antara perasaan cemas itu, Fujii berusaha memberikan semangat pada Book dengan mengunjunginya menaiki sepeda motor lamanya yang – sebenarnya – sudah tak bisa berjalan lagi hampir empat tahun. Sepeda motor tua itulah yang menjadi saksi pertemuan Book dengan Fujii. Karena itulah, Book menyukai suara berisi motor tua Fujii.
Berkat semangat dari pacar Fujii, dia berhasil memperbaikinya dan membawa motor tua itu pulang ke rumah. Dia berharap, saat mendengar suara motornya, Book akan berlari dan menyambutnya. Dan, berkat motor tua itu pulalah, Fujii berhasil melamar kekasihnya meskipun lamaran itu jauh dari kata romantis.
Kisah Book beberapa kali membuat pacar Fujii merasa tersentuh dan menangis. Gadis itu ingin suatu saat bertemu dengan Book. Sayangnya, pacar Fujii-lah yang selanjutnya tiba-tiba sakit.
“Di dunia yang dipenuhi dengan mimpi seperti itu, jika ditelusuri kebalikannya, akan sampai ke mana? Pernahkah kamu memikirkannya?” – Yoshimi – hlm. 125

Harapan untuk hidup bahagia bagi Fujii tiba-tiba berubah semu. Apalagi saat mengetahui penyakit apa yang diderita pacarnya.
Fujii yang sedang sibuk dengan pekerjaannya menjadi begitu dilema antara harus berada di samping pacarnya, atau menyelesaikan pekerjaannya yang tampak tidak akan selesai dengan cepat.
Fujii hanya bisa berharap, pacarnya akan bertahan dan bisa sehat kembali. Dia berharap, rencananya untuk menikahi kekasihnya bisa terlaksana.
“Pengetahuan bercerita kepadaku. Dalam semua hal, akhir adalah hal yang paling penting. Tak terkecuali kehidupan dan cinta, semuanya ada akhirnya. Itulah kenyataannya. – Fujii – hlm. 85

Crying 100 Times, novel yang dari judulnya saja sudah ketahuan bakalan bikin menangis.
Mengangkat tentang kehidupan pria Jepang, novel ini terasa seperti diary. Apalagi POV yang dipilih adalah orang pertama yang diceritakan oleh Fujii.
Awal cerita, aku menyukai kisah Fujii dan anjingnya, Book. Book tampak begitu menggemaskan. Dan, saat Book sakit, aku merasakan begitu cemasnya perasaan Fujii. Book, ya ampun, aku berharap anjing itu akan sembuh. Tapi, pada manusia saja, penyakit ginjal sulit disembuhkan, apalagi pada hewan.
Karakter Fujii ini tipe pria lembeng dan nggak romantis. Dia bercerita tentang dirinya sendiri mulai masa-masa sekolah hingga bekerja. Fujii bukan tipe pria yang gampang menggambarkan perasaannya. Dia tipe pria yang tidak akan meledak-ledak dalam menghadapi sesuatu. Dan, dia juga sedikit tertutup.
Mungkin itu-lah yang membuat novel ini juga terasa lempeng, kurang bergairah juga monoton. Ah, dan tidak ada tantangannya.
Konflik di novel ini disebabkan oleh penyakit. Semua diluar itu tampak dibuat begitu mudah, dari saat lamaran yang langsung dijawab ‘iya’ oleh pacar Fujii, dan kehidupan Fujii yang awalnya tampak sangat luar biasa ‘biasa aja’ karena terlalu berjalan dengan mudah.
Duh, serius, aku butuh sesuatu yang horror di novel ini. Tapi, ya…nothing. Termasuk ending-nya yang jelas-jelas semua orang tahu akhir kisahnya tanpa membacanya.
Alurnya, jelas monoton, karena memang 75% itulah aura yang disajikan. Yah, mau bagaimana lagi, aku harus membaca novel ini loncat-loncat. Setidaknya, aku bisa menyelesaikannya. Gitu aja.
Rating untuk novel ini 1,3 dari 5 bintang.

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos