Thursday, February 5, 2015

Resensi – ALPHA “Cinta yang menembus baja”



Penulis : Nathalia Theodora
Penerbit : Moka Media
Genre : Fantasi, Romance
Kategori : Young Adult, Legenda
Terbit : 2014
Tebal : iv + 260 hlm
ISBN : 979 – 795 – 944 – 9
Harga : Rp. 45.000

“Kita sebagai suku Makaros berkewajiban untuk menjaga dunia ini dari musuh abadi kita – suku Gruev.” – Kakek Rufus – hlm. 27

Dunia sedang terancam oleh keberadaan sebuah monster raksasa yang sedang tertidur. Dan suku Gruev berusaha membangkitkan monster itu untuk menguasai dunia. Namun, suku Makaros tidak akan membiarkannya. Inilah yang membuat pertikaian semakin dalam.
“Pada akhirnya kita mengambil anak-anak kita dan menjadikan mereka kunci, dan kita menyebutnya sebagai Makary. Selama Makary hidup, maka selama ini monster itu akan tetap terbelenggu.” – Kakek Rufus – hlm. 28

Kunci yang bisa membangkitkan monster raksasa adalah para Makary. Jika mereka semua mati, maka monster raksasa itu akan bangkit.
Setiap generasi akan lahir tiga belas Makary. Dan pada generasi ini, sudah satu yang dibunuh suku Gruev. Masih tersisa dua belas lagi yang harus menghadapi keganasan mereka. Maka, setiap Makary selalu mempunyai pengawal pribadi untuk melindunginya.
Violet, dia salah satu dari Makary. Dia bukan Makary biasa. Dia sangat istimewa hingga Kakek Rufus menugaskan Carlos, pengawal paling kuat untuk menjaganya. Violet juga Makary yang sangat nakal dan suka melanggar peraturan.
Suatu ketika, saat dia berulah, dia bertemu dengan Red Android (Alpha) bernama Jesse. Dia hampir dibunuhnya. Namun, karena keberanian Violet yang tak takut mati, malah menantang Jesse untuk membunuhnya, membuat Jesse bersimpati dan melepaskannya.
“Semua begitu rumit, hingga awalnya aku sulit untuk memprosesnya. Yang jelas, aku sudah tertarik padamu sejak pertama bertemu denganmu – saat aku nyaris membunuhmu.” – Jesse – hlm. 144

Jesse adalah Android yang diciptakan suku Gruev untuk membunuh Makary. Dia diciptakan bisa berfikir seperti manusia. Maka dari itu, tidak mustahil jika akhirnya Jesse jatuh cinta pada Violet.
“Dan perlu kalian tahu, para android ini memiliki fisik seperti manusia. Mereka diciptakan nyaris tanpa cela. Sekilas kalian tidak akan bisa membedakan mereka dari manusia biasa. Alpha juga memiliki perasaan yang bisa berkembang. Mereka bisa tumbuh seperti manusia.” – Kakek Rufus – hlm. 34

Namun, apakah mungkin Android benar-benar bisa mencintai Makary? Apalagi Makary itu adalah alasan kenapa dia diciptakan – untuk membunuhnya?
Berbagai hambatan siap menerpa Violet dan suku Makaros, juga Jesse. Apalagi, rahasia yang sesungguhnya tentang legenda Makary dan monster raksasa baru saja Violet tahu dari Kakek Rufus. Mau tidak mau, Violet harus siap menghadapi segala resikonya, hidup atau mati.
“Jika bagiku Jesse adalah simbol kebebasan, maka baginya, aku adalah simbol keberanian. Kami menjadi simbol untuk satu sama lain, dan itulah yang membuatnya mencintaiku.” – Violet – hlm. 144

Alpha, novel bergenre fantasy romance yang membuat aku teringat setting film The Maze Runner, dimana mereka sama-sama berada dalam sebuah tembok yang mengurung mereka, dan setiap orang di dalamnya dilarang keluar.
Novel ini diceritakan dari sudut pandang Violet. Sehingga aku langsung bisa menangkap karakter Violet yang lebih dominan baik dan manis, tapi mempunyai sisi rasa penasaran yang besar pada apapun. Inilah yang membuat dia sering kali melanggar aturan karena merasa terkekang.
Sedangkan sahabatnya, Debra, dia lebih terasa sebagai gadis yang energik, tomboy, ceria, dan menyenangkan. Dia sangat pantas menjadi sahabat Violet karena mereka seperti saling melengkapi.
Jesse, aku membayangkan dia sebagai cowok tampan dengan mata merah menyala. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar kaku. Namun, aku merasa kalimat yang dibentuk Jesse terlalu sempurna untuk sebuah android yang baru berlajar untuk menjadi manusia. Mungkin, jika kalimat yang diucapkan Jesse lebih pendek-pendek, dengan susunan sangat sederhana, akan membuat dia sempurna menjadi android.
Kalimat di awal bab, pertamanya aku tidak menyadari kalau itu kalimat pertama pada bab tersebut. Aku menganggap itu quote, jadi aku tidak membacanya. Aku pikir nggak ada hubungannya sama isi bab.
Namun, di pertengahan cerita, aku baru menyadari kalau kalimat pertama di bawah tulisan huruf bab adalah satu kesatuan. Dan, aku harus merelakan kehilangan beberapa kalimat di awal novel ini.
Penulis berusaha sekali menggambarkan setting tempat novel ini, itu jelas terlihat. Rumah berbentuk jamur, dan sebagainya. Rasanya, seperti membayangkan hidup di sebuah hutan dengan rumah-rumah mungil berbentuk seperti tumah adat di Irian Jaya.
Novel ini juga belum bersih dari Typo. Tapi, aku menyukai cara bercerita penulisnya, terasa sangat ringan dan mengalir. Dia bisa merangkai segala hal yang terasa mustahil untuk menjadi begitu nyata dalam cerita.
Rating novel ini 3 dari 5 bintang.

5 comments:

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos