Monday, March 31, 2014

Letter to My Ex


Tulisan ini diikutsertakan
untuk lomba #suratuntukruth
novel Bernard Batubara

Antara Madiun dan Jogja, 29  Maret 2014

Dear, Faiz.
Waktu berjalan tak terasa. Dia sering kali menyelipkan kangen pada lubang-lubang hatiku. Seperti saat mendengar Pan bernyanyi dengan suara kencangnya, aku jadi teringat kebiasanmu menggumamkan lagu. Kamu tak suka bernyanyi keras-keras sepertinya, dan aku lebih suka caramu. Serius, itu lebih manis!
Atau, saat mendengar Bud tertawa terbahak. Aku juga teringat cara tertawamu yang berderai ringan. Lalu, saat melihat Ren menangis tersedu karena film mellow, aku jadi teringat wajah gelimu saat melihatku menangisi sebuah adegan sedih.
Manis, ya kenangan kita?
Ah, sudah berapa lama kita tak lagi bisa memotret memori bersama seperti itu? Satu tahun? Sepertinya lebih!
Mungkin, kamu tahu apa yang sekarang lebih sering aku kemas dalam hidupku. Iya, benar, tentunya semua hal yang berkaitan dengan mimpiku dan passionku, menulis dan traveling.
Dan saat inipun aku sedang melakukan perjalanan. Surat ini juga aku tulis di dalam gerbong Kereta Api Madiun Jaya yang bertolak ke Jogja. Sudah lama rencana ini digagas para sahabatku, kamu tahulah siapa yang aku maksud! Ya tentu si Pan, Bud, dan Ren.
Aku masih mencintai dua hal itu, Faiz. Bukan karena aku tak pernah mau berubah. Ini karena aku menemukan tujuan hidupku pada mereka. Pasti kamu masih ingat jawabanku ini, kan? Jawaban yang sama saat kamu menegurku, ‘Sampai kapan kamu cuma mau main-main sama hidupmu? Sampai kapan kamu mau berkeliaran ke berbagai tempat tanpa ada manfaat yang jelas untukmu? Sampai kapan kamu mau menulis cerita-ceritamu yang sering kali membuatmu kecewa karena kalah atau ditolak? Cobalah dunia yang baru, yang lebih menjanjikan dalam hidupmu!
Hahaha… Kira-kira seperti itu, kan kata-katamu dulu? Maaf, aku tak bermaksud mengungkit luka lama. Walaupun dulu, kata-katamu itu seperti jarum yang menusuk hatiku. Tapi aku tahu, mungkin yang kamu ucapkan bisa jadi benar.
Sejujurnya, dibalik rasa pedih, aku senang kamu mengomeliku. Karena saat itu, aku tahu kamu peduli padaku.
Lalu kenapa aku memutuskan berpisah darimu? Ini alasan yang lain, Faiz. Ini karena aku tak ingin membuatmu terpaksa menerima apa yang aku cintai dan apa yang menurutmu nggak pantas untuk dicintai. Perbedaan padangan hidup, mungkin itu lebih tepatnya.
Ah, sudahlah! Anggap bagian paling kelam dalam perjalanan kita sebagai warna yang membuatnya makin indah. Aku tak akan menghapus satupun memori itu dalam ingatanku. Karena bagiku, kehadiranmu dalam hidupku adalah bingkisan termanis Tuhan untukku.
Faiz, terima kasih untuk semua yang sudah kamu berikan padaku. Maaf atas pilihanku. Maaf atas egoku. Tak selamanya yang ada di dunia ini bisa berjalan satu arah dengan jalur yang sama. Meskipun, jalur mana yang ingin dilalui adalah sebuah pilihan dari masing-masing hati.
Namun, nyatanya aku tak kuasa membendung apa yang aku inginkan. Aku ingin mencoba jalur yang menurutku menyenangkan. Dan ternyata, jalur itu berbeda dari jalur yang kamu pilih.
Tapi, jika Tuhan mempertemukan kita dalam satu jalur yang sama lagi, aku akan menebus apapun yang harus aku tebus padamu. Saat itu, akan kubayar lunas semua cinta dan kekosongan hati yang telah kubuat.
Dariku yang tak pernah menjadi apa yang kamu mau…
D

Sunday, March 30, 2014

BALADA CINTA DI ANTARA VESPA



Tulisan ini diikutsertakan

dalam #BdayGway untuk

merayakan ultah Bang @ridoarbain,

Bang @momo_DM dan Bang @danissyamra

Selamat Ulang tahun abang-abang!

Aku berjalan mendekati Domo yang jongkok di dekat Vespa kesayangannya.
“Hai, Domo!” sapaku ragu.
“Hai, Keke!” balasnya sambil tersenyum.
Aku melangkah lebih mendekat pada Vespanya. “Mogok, ya?”
“Iya.”
“Em..., Se…” kugaruk tengkukku karena gugup. “Selamat ulang tahun, ya Mo!” Kuulurkan tanganku padanya.
Keningnya berkerut. “Tanggal berapa sekarang?”
“27 Maret.”
“Serius?” tanyanya kaget
“Serius!” jawabku masih dengan tangan terulur ke arahnya.
Dia berdiri dari posisi jongkoknya dan menyambut tanganku. “Terima kasih!” Namun, secepat kilat dia melepasnya, “Sorry Ke, sorry banget! Gara-gara kaget jadi nggak sadar tanganku kotor!” Ucapnya panik sambil membersihkan tanganku dengan kain lap yang sama kotornya.
“Nggak papa, kok!” kutarik tanganku darinya. Sekarang, kuulurkan amplop pink padanya, “Ini hadiah buat kamu.”
“Untukku?”
“Iya!”
Dia menerimanya, dan aku langsung pergi.
I Love You, Mo. Semoga besok saat aku ulang tahun, kamu balas hatiku dengan cintamu.”
***

*) Tulisan ini terdiri dari 135 kata, tidak termasuk judul,
catatan di atas, dan catatan kaki.



Saturday, March 29, 2014

My Dream, My Life, My Passion

Tulisan ini diikutsertakan dalam
 Mimpiku adalah menjadi seorang penulis novel, dan menjelajahi tempat-tempat menarik di muka bumi ini. Lalu, bertemu cinta sehidup sematiku. Cinta yang mendukungku meraih impianku dan dia yang bisa mengerti aku dengan segala kekuaranganku maupun kelebihanku. Akan lebih seru lagi jika cinta itu punya hobi yang sama denganku, traveling. Namun, di mana cinta itu? Entahlah, sementara bukan itu fokusku. Menjadi penulislah yang aku prioritaskan. Mengejar satu mimpi itu sekuat tenagaku. Nggak papa kalau aku harus jatuh bangun, kecewa ditolak, kecewa kalah, kehabisan kata-kata dan harus mengais ide dengan berbagai cara. It’s oke, itulah seninya mimpi besar. Karena aku tahu, ada ujung yang menantiku dengan sebuah hadiah yang kuinginkan. Hadiah yang kemudian membawaku kepada mimpi-mimpi besarku yang lainnya. Ahh… semoga segera terwujud. Aamiin.
Aku menginginkan Novel The Dream In Taipei City karena aku ingin menemukan semangat baru, passion baru, atau mungkin bisa menjadi motivasiku untuk terus gigih berjuang meraih mimpiku. Dan, Taipe City adalah salah satu tempat yang sangat ingin aku kunjungi.

Monday, March 24, 2014

Drama Big Queen Bag. 2 - MEMAHAMI RASA CAPPUCINNO DAN LEMON TEA

Gimana sih perasaan cewek yang dibilang gendut sama cowok di depan orang banyak? Malu, jelas! Kesel, marah, buanget! Nggak terima, dongkol. Yep, suer itulah yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Perasaan ingin membunuh si cowok bernama Evan itupun belum lenyap dari angan-anganku.
Meskipun tragedi itu sudah berlalu beberapa hari, dan dia sudah beberapa kali mendekatiku untuk membuatku memaafkannya dengan mengatakan, “Nay, kita sahabat!” tak berpengaruh sama sekali sama aku. Ya, intinya tak setitikpun rasa kesalku pada Evan luntur dengan segala hal yang dia lakukan. Karena kali ini Evan keterlaluan tingkat dewa.
Dan perasaan kesalku itulah yang membuatku terdampar di A1 Espresso, sebuah café langgananku, untuk menunggu Alsa, sepupuku. Dia bilang dia ada di sekitar A1 Espresso, jadi dia ingin aku menunggunya di sana. Tapi, sudah setengah jam lebih aku duduk sendirian di sini dengan segelas lemon teaku.
“Hai, dear!”
Nah, itu suaranya. Kuhela nafasku penjang seperti melepas kejenuhan yang menyelimutiku.
“Dah lama?” tanyanya sambil duduk di sofa merah marun di depanku.
“Banget!” jawabku agak sewot.
Sorry, abis meeting-nya molor, sih! Penulis pemula, jadi jelasinya agak detail.” katanya sambil melambai pada seorang pelayan untuk menghampiri kami.
Cewek pelayan itu meletakkan buku menu di depannya. Tapi, Al nggak mempeduliakannya.
“Dua cappuccino,” pesannya dengan senyum ramah, khas dia banget.
“”Aku udah pesan lemon tea!” kuangkat gelasku yang masih menyisakan setengah isinya.
“Percaya sama aku, kamu butuh kopi untuk merenggangkan saraf-sarafmu.” Dia mengedipkan sebelah matanya padaku. “Dua cappucinno, mbak!” ulangnya dengan nada ramah yang sama pada si pelayan yang tampak membalas senyum sepupu mungilku ini.
So, apa yang bikin kamu ngundang aku ke sini, dear!” Al menyilangkan kakinya dan meletakkan lengannya di atas lututnya untuk menyangga dagu runcingnya yang manis. “Masih masalah yang sama?” tebaknya.
Yah, aku memang cerita semua kejadian memalukan di malam itu sama dia.
Aku mengangguk sambil mengangkat gelas lemon tea-ku dan menegukkanya untuk menghapus sedikit perasaan kesalku, agar kesannya aku tak terlalu menanggap masalah ini terlalu berlebihan.
Al ketawa, “Segitu keselnya kamu sama sobatku itu?”
Aku mengangguk.
Ah, iya! Evan adalah sahabat baik Al sejak kuliah. Dan aku mengenal Evan sebelum kami kerja di perusahaan yang sama karena sepupuku ini. Kemudian, terbentuklah ikatan tak terlihat antara kita bertiga plus satu cowok lagi.
“Udahlah, Nay, kamu kayak nggak tahu Evan aja!” Kupelototi dia dengan geram, membuat Al tertawa lagi. “Bukannya aku mau belain dia. Tapi, seperti yang aku sering katakan sama kamu, Evan itu ada rasa sama kamu.”
Kubuang tatapanku ke luar kaca besar di sampingku, tampak hujan makin deras dan sedikit angin semilir yang membuat daun-daun itu bergerak lincah. Cahaya lampu mobil menembus butiran air hujan dan menciptakan siluet pendar yang romantis. Sayangnya, mereka malah membuat hatiku berdenyut aneh.
Pelayan datang dan menurunkan pesanannya, dua cappucinno, untukku dan untuknya sendiri.
“Terima kasih,” katanya sebelum pelayan itu pergi.
Tatapan Al kembali padaku, namun perhatianku lebih pada cappuccinno di depanku. Kayaknya, si Al emang benar, aku butuh kopi untuk menenangkan diriku sendiri.
“Nay, aku pernah bilang gini, kan sama kamu?” pertanyaannya membuatku menatapnya. Dia kembali tersenyum sambil meraih gagang cangkirnya dan menyesap cappucinno panas sebelum melanjutkannya. “Evan itu tipe cowok yang mulut sama hatinya beda. Lain banget sama Ben.”
Nah, inilah satu lagi cowok yang juga terikat dengan kami bertiga. Namanya Ben. Dia adalah teman baik Alsa selain Evan. Aku juga kenal Ben, dan kami cukup akrab. Ah, salah! Aku sangat akrab sama Ben.
Sebenarnya, aku, Ben, Alsa dan Evan udah jadi teman dekat sejak kami kuliah. Bedanya, Al, Ben dan Evan adalah seniorku. Dan aku, bergabung dengan mereka karena Al. Begitulah akhirnya kami jadi teman nongrong yang asik. Tapi, memang sejak dulu, aku dan Evan lebih sering berantemnya daripada akurnya.
“Kalau Ben, hati sama mulutnya itu kompak banget. Contohnya, kalo Ben bilang, ‘don’t touch me!” artinya dia emang nggak suka sama tuh cewek, or siapapun. Kalo Evan nggak gitu, saat dia bilang ‘Nay, kamu gendut….” Al menghentikan kalimatnya dan malah ketawa, karena melihatku terlihat kesal. Tapi, aku nggak mau memotong argumennya. Akhirnya dia melanjutkan kalimatnya. “….Bukan itu yang ada di otak Evan. Maksudku, Evan nggak bermaksud menghina kamu, dia cuma mau kamu berubah lebih baik, dia hanya ingin memperlihatkan perhatiannya sama kamu.”
“Dengan cara senyebelin itu?” selorohku.
Al menangguk mantap. “Dan saat Evan bilang sama kamu kalau kamu sahabatnya, itu sebenarnya dia nggak ngomong itu buat kamu, tapi buat dirinya sendiri.”
Meaning?”
“Dalam hati Evan, ada feeling yang coba dia rendam. Dia mengatakan kalian sahabat biar hatinya sadar, dia hanya akan nganggep kamu sahabat, nggak lebih dari itu meski hatinya minta lebih. Karena buat dia, sahabat akan selamanya adalah sahabat. Dia nggak mau ngerusak itu.”
Jenis komentar dengan inti sama seperti yang beberapa kali dia sampaikan sama aku setiap kali kuputar cerita menyebalkannya Evan.
Aku alihkan kembali tatapanku ke arah hujan. Dan Al, kembali menyesap minuman kesukaannya.
“Ini nggak boleh pesan snack, ya?” guraunya padaku.
Kuhela nafas panjang, membuatnya tertawa renyah.
“Dasar, minta dijemput, minta ditraktir, pake mau minta yang lain pula!” keluhku padanya.
Tawanya makin kencang, “Kan, kamu yang minta ketemuan!”
“Aku minta ketemuannya di rumah kamu, kaleee!”
Dia mengibaskan sebelah tangannya. “Fokus ke masalah, dear!” dia berdehem singkat dan menatapku lagi, tanpa senyum. “Kamu tahu kenapa Evan mau bonceng aku pake motornya dan nggak mau nganter kamu pulang kalau nggak terpaksa banget?”
Aku menggeleng, “Karena dia memang asli hanya punya feeling sahabat sama aku. Dan, nggak sama kamu.”
Kusipitkan mataku ke arahnya, menuntut keseriusan dari Al. Dan cewek di depanku itu hanya mengangguk lemah untuk meyakinkanku.
“Inget kejadian saat aku minta Ben nganter aku ke suatu tempat padahal waktu itu dia bawa motornya yang dimodif super nungging itu?”
Aku mengangguk lagi, itu kejadian waktu mereka masih kuliah. Berapa tahun yang lalu, ya?
“Kamu tahu kenapa si Ben lebih milih minjem motor orang lain, dan bukannya nganterin aku pake motornya sendiri?”
Kuangkat bahuku sekali.
“Karena Ben menghormati aku sebagai sahabat, bukan cewek yang…” dia mengedikkan dua jarinya sebagai tanda petik sambil mengakatakan, “…bisa dimanfaatkannya. Intinya, Ben nggak ingin ada kontak fisik yang ekstrim antara aku dan dia.” Al melirik ke meja samping kami. Ternyata, tawa empat ABG di meja itu mengganggunya, karena aku melihat kerutan samar muncul di dahinya. “Tahu maksudku?”
Kalimat tanyanya membuatku berpaling lagi padanya. Aku menggeleng, karena tawa ABG-ABG itu juga membuatku sedikit kehilangan fokusku pada omongan panjang lebar Al.
Dia terpejam sesaat dan menatapku lagi. “Kebayang nggak kayak apa jadinya kalau ada cewek naik di boncengan si cacing?”
Cacing adalah julukan motor modif milik Ben. Motor Jupiter MX berroda kecil dan skok yang ditinggikan itu memang tampak kerempeng. Dan, nama cacing akhirnya kami sematkan untuknya.
“Dada si cewek bakalan nempel di punggungnya!” Alsa mengernyit dan bergidik. “Inget waktu kita ngelihat si Ben sama cewek…” dia tampak mengingat salah satu nama cewek yang sempat dekat dengan Ben. “Lupa!” katanya sambil tersenyum. “Yang jelas dadanya yang montok itu kelihatan melekat di dada Ben, dan itulah modus dia bikin bagian belakang si cacing lebih tinggi!”
Kunaikkan alisku, dan kami ketawa ngakak mengingat adegan itu.
“Dan, Ben nggak pingin ada adegan kayak gitu antara aku dan dia.” lanjut Al.
“Karena kamu sahabatnya?” kutebak maksudnya.
Alsa mengangguk, “Cu-cok!”
Aku manggut-manggut saja.
Semua argumennya sampai detik ini sangat masuk akal. Pantes banget makhluk cewek ini bisa jadi editor handal sebuah penerbit besar. Karena Alsa memang diciptakan untuk memahami bidang cinta lebih dari yang lain.
“Tahu nggak, Nay. Kamu itu harus belajar mengartikan semua hal tentang Evan. Sama seperti aku memahami dua cecunguk itu luar dalam meski aku cuma sohibnya.”
“Karena Evan itu tipe cowok yang ngomong pake hati, dan sedikit sensitif,” tebakku.
“Nah!’ dia menjetikkan jarinya. “Itu tahu!”
“Dan Evan beda dari Ben!” lanjutku, membuat Al mengangguk.
“Lagi…” Al berdehem dan menatapku jahil. “Manusia nggak bisa ngelihat dirinya sendiri dengan utuh tanpa cermin yang memantulkan bayangannya. Sama kayak hati, mungkin pemiliknya sendiri nggak bisa memahaminya, tapi orang lain yang melihatnya bisa dengan jelas tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Apalagi ini?” Aku melotot padanya karena aku tahu, yang ini pasti sindiran.
“Ini artinya, aku lebih tahu apa yang kalian rasakan, dari pada kalian sendiri. Jadi, jangan ngeyel!”
Kuangkat alisku, lagi.
“Aku merasakan sesuatu di antara kalian. Sesuatu yang coba kalian tolak, dan kalian sibuk berpura-pura untuk menyembunyikan sesuatu itu.” Jelasnya serius.
“Sesuatu apa, Al?”
“Cinta!” Al menyeringai geli ke arahku.
“Ngaco!”
Dan kembali Alsa tertawa, “Kita lihat saja, seberapa kuat kalian berpura-pura! Aku dan Ben akan menjadi penonton dan komentator setia untuk kalian berdua.” Dia mengedipkan sebelah matanya sambil mencomot Hermes handbag-ku, mengambil dompetku, dan mencomot kartu kreditku, lalu melambai ke arah pelayan untuk meminta tagihannya.
Kubiarkan aktivitas ilegalnya itu karena semua kata-kata Alsa memenuhi benakku. Benarkah Evan punya perasaan seperti itu padaku? Atau itu cuma argumen Al?
“Yuk, dear, anterin aku balik!”
Kulihat Al sibuk memasukkan agenda dan ponselnya ke dalam Messenger bag keluaran Louis Vuitton yang dibelikan mamanya di Singapura bulan lalu, yang dia hina gina katanya tas orang tua banget. Tapi, akhirnya dipakai juga. Dasar!
Aku mengagguk dan mengikuti langkah Alsa yang lebih dulu keluar café.
Tentang Evan, biarkan saja dulu. Dia terlalu menyita waktuku jika kuputuskan melanjutkan memikirkan masalah kami.
Oh, God! Semoga Alsa salah! Cinta dalam persahabatan kayak jalan dengan mata tertutup, nggak ada yang tahu apa yang akan kita lalui di depan sana. Huft!
***
Kisah sebelumnya, Drama Big Gueen Bag. 1

Friday, March 21, 2014

Resensi – PINK PROJECT “Kucari Dirimu”


Penulis : Retni S.B
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Juli 2009
Tebal : 264 hlm
Genre : Metropop
ISBN : 978 – 979 – 22 – 4771 – 8
Harga : Rp. 40.000
Puti Ranin, cewek yang dongkol setengah mati gara-gara artikelnya yang dimuat di surat kabar yang berisi tentang kekaguman Puti terhadap lukisan karya Pring mendapatkan artikel balasan dari kritikus seni bernama Sangga Lazuardi.
“Dalam artikel itu penulis jelas-jelas menyebut bahwa Puti Ranin adalah seorang tanpa pengetahuan memadai tapi berani memberi penilaian. Plus embel-embel tak sopan seperti kalimat katak dalam tempurung yang mencoba berceloteh tentang dunia!” Hlm. 5

Kedongkolannya lah yang akhirnya membuat dia menghadiri sebuah Talk Show yang salah satu pembicaranya adalah Sangga Lazuardi. Puti benar-benar penasaran seperti apa tampang cowok sombong, otoriter, eksklusifistis, anarkis itu. Dan, di sanalah mereka pertama kali berkenalan. Namun, Sangga belum menyadari bahwa Puti yang baru saja berjabat tangan dengannya adalah Puti yang dia hina di surat kabar. Dan di pertemuan kedua, Puti akhirnya terang-terangan memperlihatkan sikap tak senangnya pada Sangga.
Bukannya Sangga merasa bersalah, dia malah sangat senang, karena rencananya berhasil. Yep, artikel balasan Sangga beberapa waktu lalu itu memang dimaksudkan untuk memancing Puti Ranin keluar. Sehingga, Sangga bisa tahu seperti apa sosok pengagum Pring, sobatnya.
Setelah itu, Pink Project dimulai. Maksudnya, Sangga ingin menjodohkan Puti Raning dengan Pring. Dia ingin sahabatnya ini merasakan sebuah cinta yang tulus. Namun, perlahan Sangga menyadari bahwa dia punya perasaan spesial untuk Puti.
Bagaimana ini? Padahal niat awalnya Sangga ingin Puti bersama Pring. Apakah dia tega merebut wanita yang sudah membuat sahabatnya itu jatuh cinta? Atau Sangga akhirnya mengalah dan melupakan Puti Ranin?

Aku ngotot nyari novel langka ini, sampai-sampai ngubek-ubek semua Online Shop di internet gara-gara Bang Ijul FiksiMetropop bilang novel ini bagus. Syukurlah, aku bisa mendapatkannya meski barangnya second dan kertasnya udah kuning. Tapi, kondisi masih oke punya. Dan, aku sependapat sama Bang Ijul, novel ini memang bagus dan punya daya sedot tinggi.
Yang paling bikin aku jatuh cinta jelas karakter Sangga. Si cowok bermulut pedas yang paling bisa banget bikin Puti tersulut emosinya ini ternyata begitu so sweet saat menunjukkan cintanya pada Puti, bahkan aku suka caranya memaksa Puti untuk menerimanya lamarannya.
Aku juga sempat salah faham sama Sangga, aku pikir dia hanya sekedar pengamat dan kritikus lukisan. Ternyata dia terlahir sebagai seorang berotak cukup encer, karena saat dia kuliah, dia mengambil arsitektur dan seni rupa sekaligus. Bahkan, Sangga itu bukan cowok kere, dia ternyata kaya dan mapan.
“Dan Sangga itu bukan kritikus ala kadarnya lho, Put! Dia punya tiga galeri, di Jakarta, Bali, dan Yogya. Pikirmu, siapa pemilik Galeri Wolu? Ya si Sangga kampretmu ini…. Kamu pasti lebih kaget lagi. Mau tahu, nggak? Ternyata… dia itu petani sekaligus tauke tembakau di Temanggung sana!” Ina – Hlm. 212-123

Sedangkan  Puti sendiri menurutku bukan tipe pemarah. Dia terkesan ceria dan jahil. Tapi, khusus sama Sangga, dia jadi cewek jutek dan pemarah. Woooaa....
Sedangkan karakter Ina sobat Puti dan rekan bisnis dalam menjalankan bisnis toko bukunya ini agak punya karakter plin plan. Awalnya Ina dijelaskan sebagai cewek serius yang selalu berfikiran teratur. Tapi, nggak ada angin, nggak hujan dia bisa berpindah ke lain hati dan memutuskan pertunangannya. Gila ini orang!
Dan Pring, cowok misterius yang dikenal Puti lewat lukisannya ini sejak awal tidak muncul secara nyata. Dia lebih sering berinteraksi lewat dunia maya dengan Puti. Dan, senang sekali saat Pring muncul secara nyata di pameran lukisannya.
“Makasih, Puti, untuk segalanya.”
“Makasih,Pring, untuk misterimu.” Hlm. 177

Aku juga suka cara bercerita Mbak Retni, nyastra namun masih enak dinikmati. Alurnya juga ngalir dan aku sering tergelak saat Puti bercanda dengan adiknya, Imo. Menurutku, Imo itu cewek ajaib dan menyenangkan. Satu lagi yang aku suka, panggilan Kampret untuk Sangga itu lucu banget, bikin gemes sendiri.
“Nilai sepuluh akan membuatmu nggak manusiawi. Kalau kamu sampai punya nilai sepuluh, kamu justru akan sengsara. Kamu akan mencari malaikat untuk dicintai. Padahal, mana mau malaikat mencintai manusia, kan?” – Pring – Hlm. 175

Kayaknya Mbak Retni ini juga pinter mendiskripsikan sesuatu. Karena lukisan-lukisan yang dilihat Puti pun bisa dia jelaskan sampai-sampai aku bisa membayangkan seperti apa bentuk lukisan itu.
Soal cover, menurutku covernya cantik. Warnanya pink nggak norak. Yang jelas, covernya menggambarkan seni sesuai apa yang menjadi bagian cukup besar di novel ini.
Untuk typo, memang ada beberapa. Tapi, aku nggak terlalu menghiraukan karena novel ini hampir keseluruhannya aku suka.
Dan untuk ratingnya aku kasih 3,7 dari 5 bintang.

Tulisan ini diikutkan dalam Indonesian Romance Reading Challenge 2014

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos