Thursday, October 23, 2014

Resensi – DONGENG SEMUSIM “Mencari makna untuk mencinta”



Penulis : Sefryana Khairil
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Adult, Romance
Terbit : 2010 (Cetakan ketiga)
Tebal : viii + 260 hlm
ISBN : 979 – 780 – 369 – 4
Harga : Rp. 35.500

“Sarah nggak tahu bagaimana menjelaskan rasa tertariknya pada Nabil. Yang pasti, dia merasa Nabil adalah dunia untuk dipijaknya.” – hlm. 21

Dan mulai saat itulah cinta berbeda agama ini mulai diperjuangkan. Ternyata, cinta mampu memaksa Sarah untuk melakukan pengorbanan besar, berpindah agama dan dijauhi oleh papanya. Kemudian, Sarah memutuskan menikah dengan Nabil, tanpa restu sang papa.
Di awal pernikahan, semua tampak indah. Meskipun dalam hati Sarah selalu ada yang kurang. Dia belum merasa tenang sampai mendapatkan restu papanya. Sayang, restu itu tak pernah didapatnya. Sang papa terlalu cepat pergi, membuat Sarah sangat merasa kehilangan.
Rumah tangga Nabil dan Sarah mulai diuji. Dari sikap Nabil yang mulai berubah saat mengetahui Sarah hamil. Kemudian, Sarah semakin dekat dengan agamanya sekarang – Islam. Dia mulai rajin salat, bahkan mencoba mengenakan hijab. Tapi, tampaknya apa yang dilakukan Sarah bukannya membuat Nabil senang, tapi sebaliknya. Nabil tak suka dengan perubahan pada Sarah. Dia ingin Sarah tetap seperti dulu.
“Perubahan. Berubah. Setiap orang pasti berubah. Termasuk gue, lo, atau siapa pun… Memang nggak serta-merta kita bisa menerima perubahan, tapi pelan-pelan… Gue yakin lo pasti bisa menerima perubahan Sarah.” – Rizky – hlm. 188

Sayangnya, apa yang ada di hati Nabil tak pernah dia ungkapkan. Dia memilih memendamnya dan hanya memperlihatkan ketidaksukaannya dengan ekspresi saja. Kalaupun dia mengungkapkan ketidaksukaannya, dia malah terkesan kasar.
“Mungkin, gue yang nggak tahu dari sisi mana cinta melihat, Ky. Gue cuma tahu cinta dilihat oleh mata gue sendiri.” – Nabil – hlm. 188

Sarah mulai bingung dengan segala keadaan yang dihadapinya. Sarah mulai tak mengenal pria yang dipilihnya. Dia berusaha untuk bertahan. Tapi, Nabil semakin lama semakin menjadi. Akankah cinta itu bisa bertahan?
“Mencintai bukan kemarin atau besok, melainkan hari ini. Kita punya masa lalu, kita juga punya bayangan masa depan, tapi kita tidak tahu hari ini akan berakhir kapan.” – Gladys – hlm. 234

Dongeng Semusim, karya Sefryana Khairil. Sebuah kisah tetang sepasang suami istri yang mencoba mempertahankan sebuah biduk rumah tangga. Sebuah cerita yang mengajak pembaca menyadari bahwa sebuah komunikasi dan kejujuran adalah modal penting dalam jalinan asmara.
Sayangnya, Nabil tak tahu tentang itu. Dia memendam apa yang seharusnya dia katakan pada istrinya. Dia juga tak pernah mau menerima perubahan. Padahal, manusia hidup selalu berjalan bersama perubahan sekecil apapun. Ya, Nabil adalah cowok dengan karakter egois, dan keras kepala.
“Nggak selamanya hidup berjalan sesuai keinginan kita. Kadang-kadang, kita juga harus memandang sesuatu dari kacamata orang lain.” – Aan – hlm. 146

Berbeda dengan Nabil, Sarah diciptakan menjadi cewek yang mencoba tak mau kalah dengan keadaan. Sarah adalah istri yang baik, yang mau mencoba mengalah untuk kebaikan bersama. Tapi, Sarah tetaplah manusia biasa yang kadangkala tetap saja lemah dan punya titik lelah.
“Bukannya dia pilihanku, Dys? Aku begini karena dia. Aku berusaha demi dia. Dan, kamu juga bilang, Tuhan tahu aku bisa melindungi Nabil jauh dari dirinya sendiri, kan?” – Sarah – hlm. 161

Membaca novel ini aku jadi merasa disindir sendiri. Aku lahir sebagai muslim. Tapi, ketekunan untuk mempelajari agama masih kalah dengan mualaf seperti Sarah. Kenyataan itu juga tergambar jelas pada Nabil yang sejak lahir sudah muslim. Dia tampak tak terlalu mau tahu tentang agamanya. Bahkan, Nabil terkesan lupa dia itu beragama apa.
Keadaan Nabil dan Sarah tampak begitu kontras. Sarah begitu bersemangat mempelajari agama barunya. Dia rajin salat, bahkan berniat memakai hijab. Perubahan padanya begitu indah. Tapi, anehnya suaminya malah tak menyukai itu.
Dari dua tokoh utamanya saja, penulis berhasil menceritakan apa yang ingin dia sampaikan. Karakter tokoh-tokohnya juga sangat kuat. Nasihat-nasihat yang ingin dicurahkan tampak lembut dituturkan sehingga tak tampak mengajari pembaca.
Sayangnya, aku tak menyukai pilihan nama tokoh pria utamanya. Kenapa harus ‘Nabil’? Menurutku, nama itu lebih identik dengan cewek. Nabila, itu nama anak tetanggaku. Makanya, saat membaca nama Nabil, aku mengira dia tokoh ceweknya, meskipun nama panjangnya bukan Nabila.
Juga bagian akhir, ending-nya, menurutku malah kurang mantap. Akah lebih asyik kalau cerita berakhir di Bab 13 saja. Taste yang ditinggalkan lebih terasa menyentuh, dan menimbulkan bekas.
Untuk novel yang mengambil POV orang ketiga, pembagian cerita sangat balance sekali. Inilah contoh penulisan POV orang ketiga yang mendekati sempurna.
Terkadang, penulis lupa kalau mereka menulis dengan POV orang ketiga. Mereka begitu asyik bercerita dari sudut salah satu tokoh. Untuk tokoh lainnya memang tetap punya porsi, namun tidak seimbang.
Oh iya, meskipun novel ini tentang kehidupan suami istri, tapi sangat-sangat aman dibaca pembaca usia berapapun karena tak ada adegan dewasa sama sekali.
Rating untuk novel ini 3,2 dari 5 bintang.

Tuesday, October 14, 2014

Resensi - MOON IN THE SPRING

Penulis : Hyun Go Wun
Penerjemah : Sitta Hapsari
Penerbit : Haru
Genre : Adult, Romance, fairy tales
Terbit : September 2014
Tebal : 405 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 39 – 0
Harga : Rp. 67.000
Dal-Hee, dia merupakan kandidat dewi yang terkenal suka berbuat onar, keras kepala dan senang bertindak semaunya sendiri. Sebenarnya, Dal-Hee punya sifat baik–lugu dan jujur. Namun, sifat itu justru menimbulkan kesulitan untuk beberapa pihak. Membuat Dal-Hee tak bisa menjalankan dengan baik ujiannya untuk menjadi Dewi secara sah, yaitu melaksanakan tujuh reinkarnasi secara sempurna.
Kali ini Dal-Hee kembali berbuat onar. Yang ini lebih parah daripada tindakan-tindakan sebelumnya, membuat penghuni langit kalang kabut.
Dia turun ke bumi karena mendengar seorang wanita yang meminta pertolongan. Orang itu bernama Yoon Ji-Wan yang hidup kesepian dan menyedihkan, sampai-sampai dia memohon kepada Tuhan agar hidupnya diakhiri saja.
“Aku sudah sudah tidak punya alasan untuk hidup. Tidak ada satupun orang yang mencintaiku.” – Yoon Ji-Wan – hlm. 19

Saat itulah Dal-Hee bertemu tunangan Ji-Wan yang berhati dingin dan berjiwa gelap. Itulah sebabnya Dal-Hee mewujudkan keinginan Ji-Wan agar Dal-Hee bisa merubah Kang Min-Hyuk menjadi manusia.
“Melihat jiwa segelap itu, apa sungguh bisa disebut manusia? Entah berapa banyak upacara ritual ang harus dilakukan untuk membersihkan jiwa segelap itu. Apakah manusia tidak tahu bahwa keburukan bisa menggerogoti hidup mereka nanti?” – Dal-Hee – hlm. 20

Ji-Wan yang beberapa saat lalu sudah dinyatakan meninggal, tiba-tiba hidup lagi, membuat semua orang terkejut, termasuk Min-Hyuk. Dan mulai saat itulah semua orang harus menghadapi Yoon Ji-Wan yang baru, Ji-Wan yang sangat berbeda dengan Ji-Wan sebelum meninggal, karena Dal-Hee ‘lah yang saat ini menguasai tubuh itu.
Dal-Hee bertekat akan membalaskan dendam Ji-Wan. Dia akan mengungkap semua kejahatan Kang Min-Hyuk, termasuk motif pertunangan mereka. Itulah sebabnya, meskipun tubuhnya belum benar-benar sehat, Ji-Wan dengan semangat mempelajari dokumen kerjasama perusahaannya dengan perusahaan Min-Hyuk.
Hasilnya, saat rapat merger kembali digelar, Ji-Wan berhasil mengalahkan Min-Hyuk. Tapi, kekalahan yang dialami Min-Hyuk tidak sekedar membuatnya kesal. Ada sesuatu yang memenuhi hatinya. Yoon Ji-Wan, tiba-tiba saja tunanganya itu bisa membuatnya merasa tertantang, dan membuatnya menemukan warna dalam hidupnya.
Manusia adalah makhluk paling mulia yang pernah diciptakan, jadi tidak mungkin Tuhan menciptakan siapapun dalam keadaan lemah.” – Lee I-Gu – hlm. 73

Tapi, jiwa Ji-Wan adalah Dal-Hee, seorang kandidat dewi yang harus kembali ke langit, kapan saja. Dia tidak boleh jatuh cinta pada manusia.  Dia harus menjalankan takdirnya sendiri, dan melepaskan takdirnya sebagai Yoon Ji-Wan.
“…setelah melalui sebuah cerita cinta pertama yang indah dan juga penuh kepedihan. Kenapa cinta harus sesakit ini? Kenapa cinta tidak bisa menjadi cinta yang abadi? – hlm. 334

Lalu bagaimana dengan Kang Min-Hyuk? Apakah dia akan kembali kehilangan hati manusianya saat Ji-Wan pergi? Dan, sebenarnya apa yang membuat seorang Kang Min-Hyuk hidup tak manusiawi begitu?
“Nasib seseorang bisa berubah ketika ia mau bertarung dengan dirinya sendiri. Namun, semua akan berbeda ketika manusia itu sendiri yang ingin menyerah menjalani hidupnya.” – hlm. 21
 
Moon in The Spring, novel Korea romance yang dibumbui dongeng. Temanya cukup menarik, seorang calon dewi yang mempunyai misi “memanusiakan manusia yang hidup tidak manusiawi”.
Novel ini diceritakan dari POV orang ketiga, dan di awali dengan prolog sebuah dongeng tentang dua kakak beradik–Dal-Hee dan Hae-Song, kakak Dal-Hee–yang dikejar harimau dan akhirnya langit menolong mereka dengan menurunkan tali besar agar mereka bisa naik ke langit, kemudian mereka menjelma menjadi matahari dan bulan.
Dal-Hee digambarkan sebagai calon dewi yang suka berbuat onar. Dia sering sekali bertindak tanpa pikir panjang. Namun, saat menjadi Ji-Wan, dia cukup tenang dan tak banyak bertingkah ceroboh. Malah, dia terkesan sangat pandai dan licik dalam menghadapi musuh-musuhnya, termasuk menghadapi Kang Min-Hyuk.
“Aku tidak bisa berurusan dengan orang yang berpura-pura baik di depanku, tetapi ternyata dibalik kebaikannya dia hanya ingin ikut campur atau ada motif lain. Manusia-manusia seperti itu menyebalkan sekali.” – Dal-Hee – Hlm. 228

Sedangkan Min-Hyuk, aku tidak berhasil menemukan dia yang jahat dan tak berperasaan. Sikapnya di dunia bisnis yang seperti itu menurutku normal-normal saja. Malah, saat mengetahui masa lalunya, aku jadi bersimpati padanya.
“Manusia sering melupakan kalau di atas tanah tempat mereka berpijak masih ada langit. Begitu juga di bawah kaki mereka. Dan Min-Hyuk termasuk dalam golongan manusia yang melupakan hal-hal itu.” – hlm. 121

Sebenarnya, karakter malaikat kematian nomor 2999 yang bernama Lee I-Gu cukup menarik. Dia yang sepertinya lebih berpengalaman dari pada Dal-Hee harusnya bisa berperan lebih banyak di novel ini. Sayang, dia tak tampak banyak diikutkan dalam kisahnya. Kisah Lee I-Gu dan Mi-ra juga cukup menarik, sayangnya tidak dieksplor lebih.
Selain konflik Ji-Wan dan Min-Hyuk, muncul konflik-konflik sekunder dari munculnya Lee Seok-Wan, si artis yang ternyata pernah menjadi teman baik Min-Hyuk, dan Kim Seo-Yeon yang merupakan mantan kekasih Min-Hyun. Juga konflik pendek tentang perusahaan Min-Hyuk yang dijebak oleh salah satu petinggi perusahaannya sendiri, sekaligus ada campur tangan wanita yang sangat terobsesi untuk memiliki Min-Hyuk, Ma Yeon-Ha.
“Bagaimanapun juga, orang jahat akan selalu mencurigai semua orang yang ada di sekitarnya. Dan tentu sajasebaai akibatnya masalah tidak akan berhenti mengikuti mereka.” – Lee I-Gu – hlm. 132

Pada dasarnya, aku cukup menikmati novel ini. Cara bercerita penulisnya cukup renyah. Dan lagi-lagi aku puas dengan hasil terjemahan Penerbit Haru, selalu mendekati perfect.
Untuk ending-nya, meskipun mudah ditebak, namun penyelesaian konfliknyalah yang paling penting dan menurutku juga cukup bisa dinikmati.
Untuk cover-nya, meskipun mirip dengan novel Always With Me–yang ditulis Hyun Go Wun juga–cukup menarik dan enak dilihat. Meskipun, aku tetap menyarankan membuat desain yang jauh berbeda.
Untuk ratingnya, 3,6 dari 5 bintang karena selain cara berceritanya yang asyik, banyak quote manis yang disampaikan dengan halus. Ini point plus-nya.
“Mengingat kembali berbagai kenangan bisa membuat hati kita bergetar, tetapi dengan adanya pertemuan baru, akan ada kenangan-kenangan baru yang tercipta. Seperti itulah sebuah kenangan.” – hlm. 371

Tuesday, October 7, 2014

Resensi – RAIN AFFAIR “Selalu ada cinta yang tepat untuk kita”



Penulis : Clara Canceriana
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Young Adult
Terbit : 2010 (Cetakan Pertama)
Tebal : vi + 342 hlm
ISBN : 979 – 780 – 409 – 7
Harga : Rp. 34.500

“Apa ada yang salah dengan hubungan lo sama Noah?” – Rendi – hlm. 32

Lea sangat tahu, dia sangat…sangat…sangat mencintai Noah, kekasihnya yang lebih memilih pekerjaannya dibanding dirinya. Buat Lea, semua tak ada masalah, meskipun sering kali dia harus menelan kekecewaan karena Noah. Karena, hanya Noah yang sangat dia inginkannya, apapun yang terjadi. Mungkin, hidup Lea pun hanya ditujukan untuk Noah.  Yah, Noah…Noah…dan Noah… itulah warna hidup Lea.
“Ya, lo tahulah, ada prioritas dalam hidup ini. Apa sih prioritas hidup Noah? Masak iya dia mau kawin sama kantornya? Nggak, kan? Satu kali nunda pekerjaan bukan berarti dunia kiamat.” – Rendi – hlm. 64

Sebenarnya, di alam bawah sadar Lea, dia tahu, dia sudah membohongi dirinya sendiri. Tapi, Lea memilih tidak mengakui itu. Menurutnya, Noah memang mencintainya. Dia tak pernah ada untuk Lea karena pekerjaannya yang super sibuk.
Tapi, mau tak mau, terkadang kenyataan itu tetap saja tak bisa dia hindari dan membuat hatinya perih. Bukan pekerjaan yang membuat Noah tak pernah ada untuk Lea. Mungkin, pekerjaan itu hanya alasan untuk menghindarinya. Karena, sejak dulu, hanya ada satu nama yang ada di hati Noah, Rissa, kakak kandung Lea.
“Dia takut, ketika dia memeluk Rissa, dia tidak ingin lagi melepasnya. Lagi pula, dinding pemisah yang transparan, terbentang diantara keduanya. Entah siapa yang memulai, tapi keduanya seperti sama-sama membatasi diri.” – hlm. 125

Seseorang yang  asing, yang pernah bertemu Lea saat hujan, yang pernah memberikan payungnya pada Lea – tiba-tiba datang di hidup Lea sebagai guardian angle.
“Bagaimana pun, kenangan setahun lalu – di bawah rinai hujan itu – adalah miliknya sendiri. Dia yakin cewek itu bahkan tak mengingat kejadian itu – minimal, tak sejelas di dalam ingatannya.” – hlm. 37

Nathan, pria itu langsung mengenali Lea saat dia bertemu kembali dengan perempuan itu. Karena bagi Nathan, bayangan Lea memang sudah menjadi penghuni hatinya. Dan saat dia mengetahui Noah, teman kantornya adalah kekasih Lea, ada perasaan kecewa di rerung hatinya. Namun, karena Noahlah Nathan punya alasan untuk hadir sebagai penghapus dan penghibur kesedihan Lea.
Rain Affair, novel yang mengatakan padaku, “Cinta bukan sesuatu yang patut dikorbankan. Jika kamu memang tahu, orang yang sangat kamu sayangi juga mencintai seseorang yang juga kamu cintai, kamu tak perlu mengorbankan perasanmu disaat seseorang yang kamu cintai itu memang memilihmu. Kenapa? Karena saat kamu meminta dia yang mencintaimu untuk mencintai orang lain yang kamu sayangi, sama saja kamu menyiapkan boom atom untuk menghancurkan tiga hati sekaligus. Hatimu, hati yang mencintaimu, dan hati orang yang sangat kamu sayangi.”
Sama seperti Rissa yang mengorbankan perasaannya untuk Noah karena Lea juga menginginkan lelaki yang sama dengannya. Ternyata, bukan bahagia yang didapat Lea, tapi kekecewaan dan rasa sakit. Karena pada akhirnya pun, cinta Noah tetap saja untuh untuk Rissa.
“Benar kata orang, tidak akan ada orang yang tahu bagaimana perasaan cinta itu muncul.” – hlm. 147

Menurutku, “pura-pura dicintai oleh seseorang yang sangat kita cintai” itu lebih sangat sakit dari pada “mendengar langsung bahwa dia tidak mencintai kita dan memilih orang lain.”
“Le, cinta itu sesuatu yang membahagiakan. Kalau lo justru tertekan, itu namanya bukan cinta. Hubungan seseorang nggak akan bisa berjalan mulus kalau cinta itu nggak ada. Cinta itu tulus, Le. Bukan paksaan.” – Audrey – hlm. 174

 Yah, novel ini bertutur banyak tentang pengorbanan, kekecewaan, dan patah hati. Meskipun begitu, aku cukup menikmati cara bercerita penulisnya. Dia punya gaya yang tidak ribet dalam menarasikan ceritanya.
Karakter tokohnya, hampir semuanya, berhasil digambarkan dengan baik dan menyatu dengan ceritanya.
Lea yang selalu berusaha kuat, dan menyembunyikan luka hatinya dari semua orang memang tampak hebat, sekaligus bodoh dan keras kepala. Ya, bodoh dan keras kepala! Bagaimana bisa dia masih juga mempertahankan orang yang – dia sangat tahu – tidak pernah mencintainya. Itu namanya menyia-nyiakan hidup.
“Le, kita nggak akan pernah bisa memiliki sesuatu yang memang bukan untuk kita. Apa pun usaha lo, sekeras apapun usaha lo. Just wake up, dear.” – Audrey – hlm 174

Noah, meskipun dia terkesan antagonis, tapi kalau mau menyusuri bagaimana awal kenapa dia akhirnya menerima Lea sebagai kekasihnya, aku sangat paham dengan semua hal yang dia lakukan pada Lea. Bisa dibilang, Noah adalah korban yang paling menderita.
Nathan, cowok ini diciptakan sebagai cowok yang menurutku sempurna. Dengan ciri seorang cowok keren, dengan ekonomi mapan, apalagi sikapnya yang bikin mabuk kepayang saat dia bersama Lea, hem… aku rasa pembaca tak akan sulit untuk jatuh cinta padanya.
“Kalo lo emang benci dan marah sama gue, bukan berarti gue nggak boleh bantu lo, kan? Biar gue jadi temen sekaligus senderan lo disaat-saat seperti ini. Setelah semua beres. Setelah lo merasa baikan. Kalo lo nggak butuh gue lagi, gue akan pergi.” – Nathan – hlm. 258
Sedangkan Rissa, aku rasa kebaikan dia ini tampak sebuah kejahatan besar di mataku. Karena dia, tidak hanya Lea yang terluka, Noah pun hancur berkeping-keping karenanya. Tapi, lagi-lagi tokoh antagonis disini tak tampak antagonis. Dia bagaikan ibu peri yang salah mengucap mantara.
Karena siapa coba yang mau bilang, seseorang yang sudah berkorban begitu besar untuk hidup kita adalah orang jahat? Sayangnya, pengorbanan dia itu malah jadi boomerang untuk kita. Kayak ngasih pengemis yang fisiknya oke-oke aja. Tanpa kita sadari, kita ikut andil membentuk jiwa pemalas di dalam diri pengemis itu.
“Well, ya…Le, semua orang pernah melakukan kesalahan. Yang penting bukan penyesalannya, tapi gimana lo belajar untuk nggak mengulang kesalahan yang sama.” – Rendi – hlm. 264

Meskipun novel ini cukup oke, ada beberapa narasi penulis yang menurutku terlalu detail. Membuat aku harus meloncatinya karena menurutku tak terlalu penting. Namun, bisa digaris bawahi, ya, guys. Novel ini beneran punya isi yang oke, kok untuk dibaca.
Rating 3,0 dari 5 bintang.

Wednesday, October 1, 2014

Resensi – “The Chronicles of Audy : 21”



Penulis : Orizuka
Penerbit : Haru
Terbit : Juli 2014
Tebal : 308 hlm
Genre : Young Adult
ISBN : 602-774-237-2
Harga : Rp. 57.000
“Setelah Audy pergi, kami langsung sadar kalau kehadiran Audy sangat penting bagi kami. Bukan sebagai pembantu ataupun babysitter, tapi sebagai …bagian dari keluarga.” – Regan – Hlm. 9

“Bagian dari Keluarga,” kalimat itu begitu berarti untuk seorang Audy Nagisa. Meskipun, sampai saat ini dia masih saja merasa diperlakukan seperti babysitter sekaligus pembantu di rumah 4R.
Ah, masih ingat siapa saja 4R? 4R adalah nama 4 cowok bersaudara yang tinggal dalam satu rumah.
Kakak pertama bernama Regan atau R1, Pengacara ganteng yang membuat Audy terpesona dan mengangguk saja waktu diminta tanda tangan perjanjian saat melamar pekerjaan di rumah ini. Regan adalah tulang punggung sekaligus kepala rumah tangga karena kedua orang tuanya kecelakaan dan meninggal.
Kakak kedua bernama Romeo atau R2, seorang gamer sekaligus hacker dan cowok paling jorok di rumah ini. Bagi Audy, Romeo cocok sebagai idola kalangan tunawisma karena keadaannya yang kumal seperti gembel. Padahal, jika dia mau mandi dia pasti tak kalah mempesona dari Regan
Kakak ketiga bernama Rex atau R3, cowok SMA yang selalu memakai masker sekali pakai dan selalu menatap datar dari balik poni ikalnya. Dia ini menyidap asma akut, namun punya otak jenius. Mungkin, karena terlalu jenius itu akhirnya dia kayak orang anti sosial.
Yang terakhir, Rafael, anak umur lima tahun yang otaknya jauh dari anak umur lima tahun. Rafael punya pemikiran seperti orang dewasa. Rafael tumbuh bersama kakak-kakak cowok yang tak bisa menciptakan dunia anak seperti seharusnya untuk dia, ini yang membuat Rafael tumbuh lebih cepat. Rafael juga tak kalah jenius dari Rex. Dan Audy mencoba untuk membentuk kembali jiwa Rafael menjadi jiwa anak-anak seperti seharusnya.
Meskipun Audy masih melakukan hal-hal seperti dulu, menyapu, memasak, mencuci, tapi Audy mulai merasakan kalau dia memang dianggap sebagai keluarga di rumah ini. Contohnya, saat hujan Rafael tampak sedikit kaget, lalu cemas.
Perlahan, Audy sadar, Rafael mencemaskan tulisan 1A yang ditulis di kotak surat saat Audy kembali ke rumah ini sebagai bukti kalau Audy diterima menjadi bagian dari keluarga. Tulisan itu ditulis dengan kapur, dan kalau kena hujan pasti bakalan terhapus.
“Berharap bikin kita lebih bersemangat hidup, kan? Tentunya, sambil disertai usaha yang konkret.”  - Rex – hlm. 144

Namun, hidup Audy yang mulai menemukan titik kenyamanan mulai terusik karena Rex yang mengakui perasaannya. Dia menyukai Audy. Lucunya, Rex tampak tak seperti benar-benar jatuh cinta. Yang berubah hanya senyumnya, ada rasa hangat di bibir itu. Lainnya, dia tetap saja Rex, datar tanpa ekspresi. Audy merasa terbebani karena perasan itu. Dia menjadi canggung dan tak nyaman di dekat Rex.
Kalau kamu nggak suka aku, nggak apa-apa. Nggak usah merasa nggak enak atau bertanggung jawab dengan bantuin skripsiku. Bahkan kalau kamu mau, kita bisa anggap hari ini nggak pernah ada. Tapi kalau kamu masih… itu jadi beban untukku.” – Audy – hlm. 228

Masalah dengan Rex belum usai, kabar baru muncul. Maura tunangan Regan yang koma selama dua tahun akhirnya sadar. Kabar ini tampak menggembirakan awalnya, namun perlahan hal ini malah menambah masalah. Ada sesuatu yang tak sengaja Audy tahu tentang Rex, tentang dia dan tunangan kakaknya itu. Dan, kesembuhan Maura juga berpengaruh pada kelangsungan hidup Audy di rumah ini.
Lalu, bagaimana ini? Apakah Audy bisa mengatasi situasi antara dia dan Rex? Sebenarnya ada hubungan apa antara Rex dan Maura? Lalu, Romeo, apakah dia juga menyukai Audy? Dan berhasilkan Audy membentuk jiwa Rafael seperti seharusnya seorang anak umur lima tahun?
Aku yang berterima kasih. Aku senang kamu sudah main di sinetron ini, walaupun endingnya nggak sesuai harapan.” – Romeo – hlm. 247

The Chronicles of Audy : 21 adalah lanjutan dari The Chronicles of Audy : 4R [Baca resensi Seri Pertama disini] yang diterbitkan Penerbit Haru tahun 2013.  Sepertinya, banyak sekali fans Orizuka maupun booklovers yang menantikan seri ini. Aku juga, sih.
Kalau ditanya mana yang lebih seru, seri pertama atau kedua, aku nggak bisa jawab. Karena aku sudah lupa euphoria setelah membaca seri pertamanya. Tapi, ada beberapa bagian yang lebih aku suka di seri yang ini. Seperti karakter Rafael yang tampak lebih mengena.
Aku sangat suka Rafael, dengan ketidaksopanannya, dengan keterusterangannya, dengan keluguannya, semuanya. Rafael membuatku pengin punya anak seperti dia. Bukan lagi pengin adik seperti dia, tapi anak… hehehehe…ketahuan deh udah cocok punya anak meskipun belum ada yang ngajakin nikah. Eh, malah OOT.
Setiap tokoh di novel ini semakin menunjukkan karakter khasnya, sekaligus memperlihatkan rahasia-rahasia yang membuat tersenyum, tapi entah kenapa aku malah merasa tersentuh. Sayangnya, karakter Regan kurang tereskpos deh. Dia jarang keluar di seri ini.
Chemistry antara Audy dan 3R – minus Regan – terbentuk alamiah dan membuat cerita mengalir ringan, juga memikat. Jadi nggak membosankan.
Yang paling aku suka hubungan Audy dengan Rafael. Suka sekali disaat adegan awal-awal novel ini, saat Rafael mempersiapkan pertunjukan untuk ulang tahun sekolahnya.
Waktu disuruh menyanyi di depan kelas, si Rafael malah menyanyi lagu Call Me Maybe-nya Carly Rae Jepsen. Semua orang yang menonton mengong. Ibu-ibu dan anak seumuran Rafael mana ada yang ngerti lagu itu. Ini gara-gara Romeo. Tapi, karena itulah akhirnya Rafael mau belajar lagu anak-anak seperti Bintang Kecil, Pemandangan, Naik delman, dan banyak sekali lagu anak yang dia pelajari dari YouTube.
Trus Romeo, dia akhirnya mengatakan apa phobia yang dia derita. Serius, phobianya emang nggak keren. Tapi, saat tahu apa yang menyebabkan phobianya, aku bisa mengerti kok. Trus kebiasaan Romeo pakai kaos kaki setiap hari, itu juga bikin trenyuh.
Dalam The Chronicles of Audy : 21, Audy digambarkan semakin terlihat konyol. Contohnya saat adegan di sekolah Rex. Bisa-bisanya dia minta Rex untuk… ah, sudahlah!
Namun, inilah kelebihannya, Penulis menciptakan tokoh utama yang manusiawi. Dia tidak membuat Audy terlihat mulia, tapi dia memperlihatkan sisi antagonisnya juga.
Peran antagonis nggak selalu jelek kok, Au.” – Romeo – hlm. 225

Sebenarnya, sadar atau tidak, setiap manusia punya sisi antagonis, lho. Cara pandang kita juga mempengaruhi apakah yang dilakukan itu termasuk jahat atau baik. Dan, penulis berhasil menciptakan tokoh utama yang sesuai dunia nyata.
Novel ini benar-benar menghibur sekali. Dan seperti di seri pertamanya, aku nggak butuh banyak waktu untuk menyelesaikannya. Ingatkan, sekarang ini aku paling lelet kalau disuruh baca. Karena tahu sendiri, 24 jam buat aku kurang banyak. Yah, dunia kerja membuat semua tampak singkat, termasuk waktu.
“Setelah sekian lama bertanya-tanya, akhirnya aku tahu arti “bagian dari keluarga”. Dia adalah ilusi, tempat kapal 4R1A mengambang.” – Audy – hlm. 258

Endingnya, em…kayaknya masih bakalan keluar saudaranya lagi, deh. Hem… berapa seri, sih rencananya novel ini? Jangan banyak-banyak, ya? Aku sering geregetan kalau ketemu novel seri yang nggak kelar-kelar.
Untuk ratingnya aku kasih 3,2 dari 5 bintang.



 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos