Sunday, May 18, 2014

Resensi – London “Angle” Keajaiban Cinta



Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : 2013
Tebal : x + 330 hlm
ISBN : 979 – 780 – 653 – 7
Harga : Rp. 52.000
Terkadang, cinta punya jawabannya sendiri untuk setiap kisah yang dimulainya. Dia bisa saja muncul dengan mengejutkan dan tak terduga. Atau membuatkan kita kisah yang penuh misteri atau penuh dengan keajaiban. Yah, inilah London, kisah Gilang yang mencari cinta di antara muramnya London dan hujan yang akhirnya menjawab cintanya.
“Oke, teman-teman. Sudah kuputuskan. Aku akan mengejar Ning ke London.” – Gilang – Hlm. 28

Itulah yang diracaukan Gilang saat sebelum dia teler karena bergelas-gelas Jack Daniel’s di Bureau. Dan perjalanannya mengejar cinta Ning, dimulai.
Ning adalah sababat Gilang sejak kecil. Mereka selalu bersama sampai-sampai Gilang perlu waktu cukup lama untuk menyadari perasaannya pada Ning─bukan lagi perasaan sekedar persahabatan, namun sudah berubah menjadi cinta. Sayang, Gilang tak juga berani mengatakan perasaan itu meski dia tahu Ning akan pergi ke London, dan entah kapan dia punya kesempatan menyatakan perasaannya.
"Maka, atas nama cinta yang membebaskan, aku membiarkan gadisku terbang mengejar mimpinya." – Gilang – Hlm. 87

Sekarang, setelah Ning jauh di bagian dunia lain, Gilang benar-benar ingin Ning tahu perasaannya, bukan lewat Yahoo! Messenger, telepon, atau bahkan sekedar email. Dia ingin mengatakan langsung di depan Ning.
Sayang, setalah melakukan penerbangan berjam-jam, Ning tak bisa langsung dia temui. Tetangganya bilang, dia membawa koper kecil dan sudah tiga hari tidak pulang.
Tak menemukan Ning, membuat Gilang menjelajahi London sendirian. Dan, saat di London Eye, dia bertemu Goldilocks, gadis hujan yang memberikannya payung merah. Gadis yang membuat Gilang terpesona dengan tidak wajarnya.
"Entah siapa gadis itu sebenarnya dan mengapa kami terus-menerus bertemu tanpa sengaja, tetapi aku tidak bisa memungkiri bahwa dia luar biasa memikat. Masih ingat apa yang kukatakan tentang malaikat? Indah dan terlalu sempurna untuk menjadi manusia. Seperti itulah gadis di hadapanku ini." – Gilang – Hlm. 187

Selama di London, Gilang tinggal di Medge, penginapan milik Madam Ellis, wanita paruh baya yang selalu muram. Dia juga mulai berteman dengan Mister Lowesley, pemilik toko buku di seberang penginapan Madge dan Ed, pekerja penginapan yang ramah dan sedikit cerewet.
Kemudian dia juga bertemu Ayu, gadis asal Indonesia yang terobsesi dengan buku Wuthering Heights cetakan pertama. Dan anehnya, ia pun terus-menerus bertemu dengan Goldilocks dan selalu berpisah dengan cara yang aneh.
“Barangkali, Goldilocks adalah malaikat. Mendadak, aku menemukan ide absurd itu dalam benakku. Goldilocks selalu muncul bersama hujan, bukan? Apakah itu juga kebetulan? Apakah ini masuk akal?” – Gilang – Hlm. 315

Saat akhirnya Gilang bertemu dengan Ning, cewek ini membawanya berkeliling London, dan bagi Gilang ini kencan. Beberapa kali dia ingin menyampaikan perasaannya, namun dia ragu. Dan, keraguan Gilang diperparah karena kemunculan seorang seniman yang sangat dikagumi Ning.
Meski perasaan Gilang kacau karena pria itu, dia cukup menikmati London karena kota ini mempertemukannya dengan keajaiban-keajaiban hujan dan cinta dari orang-orang di sekitarnya. Lalu, apakah Gilang juga menemukan keajaiban cintanya sendiri?
"Tidak ada yang terenggut. Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya belum menemukannya." – Goldilocks – Hlm. 320
 
Gilang, cowok melankolis yang terjebak dengan friend zone. Dia tipe cowok yang berpikir panjang, membuatnya memendam cinta selama bertahun-tahun dengan sahabatnya. Meskipun begitu, Gilang sangat menyenangkan, humoris, dan perhatian.
Ning tipe perempuan yang pintar, dan ramai. Dia mencintai seni lebih dari dia mencintai apapun di hidupnya. Makanya, dia begitu menikmati hidupnya di London. Ning bukan orang yang sensitive pada perasaannya. Dia tak akan tahu kalau dia dicintai oleh seseorang, sebelum orang itu menyatakannya. Atau, dia tipe cewek yang mencoba menetralisir perasaan cinta lawan jenisnya untuk dirinya dengan pura-pura tak mengenali sinyal dari mereka.
Dalam novel ini, aku sangat menyukai kisah Mister Lowesley dan Madam Ellis. Mereka bisa dibilang kisah lain yang serupa dengan kisah Ning dan Gilang.
“Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia. Menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia.” – Gilang – Hlm. 247

Kisah Gilang dan Goldilocks, perempuan yang tiba-tiba muncul di hadapan Gilang saat hujan turun dan menghilang saat hujan reda. Dia tampak menakjubkan dan menyebut namanya Angle. Dia bahkan memberikan Gilang Payung merah─senada dengan warna kotak telepon di London─yang berhasil menyatukan cinta beberapa orang yang meminjam payung itu.
Bagiku, novel ini sangat detail dalam penyampaian setting, karakter, bahkan ekspresi tokohnya. Karena begitu detailnya, rasanya London begitu nyata. Muramnya, gerimisnya, hebusan anginnya, digambarkan dengan kata-kata dan kiasan yang… hem, bikin aku ngiri, kok bisa bikin diskripsi monolog, namun tidak membosankan seperti diskripsi yang disampaikan reporter?
Aku menyukai semua karakter dalam novel ini. Meski banyak sekali karakternya, meski tokoh tersebut tidak mempunyai peran besar, tokoh-tokoh tersebut tetap diciptakan dengan sangat detail, dan dengan karakter yang unik, seperti Ed, atau penjaga Toko Jemes Smith & Son.
Satu lagi yang menarik, kebiasaan Gilang memberikan nama pada orang-orang asing sesuai dengan nama tokoh dalam novel yang pernah dibacanya─saat melihat mereka. Seperti seorang pria yang ditemuinya di pesawat saat berangkat Ke London. Dia menamainya V, karena dia berdagu runcing dan senyumnya penuh muslihat mengingatkan Gilang pada topeng Guy Fawkes yang dikenalkan oleh Hugo Weaving dalam V for Venttena.
Hanya ada satu kelemahan dalam novel ini, kurang memacu adrenalin pembacanya, sedikit datar, dan terasa aman.  Namun, mampu membuat pembaca tersenyum bahagia di akhir cerita dan belajar banyak hal tentang cinta. Salah satunya, merelakan cinta memilih jalan kebahagiannya sendiri, dan berbalik untuk mencari cinta yang lain adalah pilihan yang bijak daripada memaksakan cinta yang akhirnya hanya akan menimbulkan luka.
Aku suka dengan ending London. Seperti sebuah keindahan pemandangan dari potongan puzzle yang berhasil disatukan
Over all, aku menyukai novel ini. Tentang temanya yang begitu manis, London, angle, sahabat, dan cinta. Juga sketsa-sketsanya. Yah, sebenarnya, sih setiap sketsa di Novel STPC sebagian besar aku suka. Warna merah cover-nya pun cukup memikat. Jadi, aku tidak ragu untuk menghadiahinya 3,7 dari 5 bintang.

Tulisan ini diikutkan dalam Indonesian RomanceReading Challenge 2014

1 comment:

  1. Menurut Kak Dian bagusan novel ini atau Interlude? Eng dari semua novel Kak Windry yang kakak baca, yang mana yang paling kakak suka? *kepo :D
    Nice review kak!:)) Aku tambah penasaran T-T

    ReplyDelete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos